Bedhiang

16.55
 Oleh: Munawir Aziz


Di sebuah senja, ketika semburat cahaya mentari menampilkan jejak keemasan, dengan kepingan awan hitam yang terpendar, Kang Sukri sibuk mencari sisa dedaunan dan remah sampah di sekeliling rumah. Dedaunan kering sisa makanan kambing di kandang sebelah rumahnya, terkumpul lumayan banyak. Daun kering itu ditimbun bersama onggokan sampah, di bawah kandang kambing. Tumpukan sampah dan dedaunan kering itu akan dibakar ketika gelap hinggap.
Ritual ini bukanlah upacara untuk menyambut malam, namun prosesi rutin yang dilakukan gembala kambing, ketika malam tiba. Kang Sukri sudah berpuluh tahun memelihara kambing, sebagai pekerjaan sampingan, selain buruh tani. Sejak saya kecil, Kang Sukri sudah menjadi penggembala kambing yang rajin. Tetangga dekat saya ini, memang bukan hanya gembala kambing biasa, tidak ada perasaan jijik maupun jengah ketika bergelut dengan kotoran. Kang Sukri juga tipikal pemelihara kambing yang tak gegabah untuk mengambil dedaunan yang ada di pagar tetangga. Dia selalu izin, atau bahkan meminta jauh hari sebelum ramban (mengambil daun). Meminta izin, sesuatu yang langka di tengah riuhnya kehidupan saat ini.
Dedaunan dan rumput hijau menjadi santapan lezat bagi kambing-kambing Kang Sukri. Ranting dan sisa dedaunan yang kering, dikumpulkan bersenyawa dengan sampah, dibakar menjadi: ”bedhiang”. Membakar kumpulan sampah ini bukan sekedar menghanguskan dan menghilangkan, namun memberi kehangatan bagi ternak serta mengusir nyamuk dan kutu. Kang Sukri membakar sampah bukan dengan amarah.
Bedhiang lahir karena perasaan tanggung jawab untuk berbagai kehangatan pada makhluk lain. Bedhiang akan terbakar sepanjang malam, ketika ternak menggelepar kekenyangan dan merasakan dingin malam gelap. Bedhiang bukan untuk menghancurkan, namun memberi rasa nyaman dan menyegarkan lingkungan. Kang Sukri tidak butuh obat nyamuk, ataupun zat kimia pengusir kutu, atau bahkan fogging bantuan pemerintah. Asap bedhiang melenyapkan kutu dan nyamuk yang siap menyerbu darah manusia serta ternak. Sampah yang dilahap api ini memiliki manfaat lebih, dari sekedar terbakar di pembuangan sampah.
Prosesi membakar bedhiang bagi peternak, semacam kearifan untuk mengelola sampah. Menghargai sampah sebagai media menghasilkan kehangatan, sesuatu yang tak ada di tengah hiruk pikuk kehidupan kota. Ketika sampah dianggap sebagai musuh yang menyebalkan, bahkan harus mendatangkan teknologi pengelolaan sampah massal.
Di desa, ritual membakar bedhiang melenyapkan depresi terhadap sampah yang menggunung. Sampah dan sisa dedaunan kering ini akan beralihrupa menjadi abu, pengganti deterjen pencuci piring. Tak ada yang tersisa, sampah bukan masalah bagi warga di desa. Kecerdasan mengelola sampah ini, seakan lahir dari celah alami, sebagai tanggung jawab personal. Setiap warga berkewajiban mengelola sampahnya masing-masing, tanpa menunggu bantuan petugas yang ditunjuk pemerintah.
Saya jadi teringat Pramoedya Ananta Toer, yang senang membakar sampah di sela-sela hidupnya. Bagi sastrawan besar yang dimiliki Indonesia ini, membakar sampah bukan sekedar menumpahkan amarah, namun ritual menyegarkan kembali pikiran dan hati yang sesak oleh dendam. Sampah yang dikunyah api, sebagai refleksi buku-bukunya yang dibakar oleh oknum bersenjata, ketika Orde Baru berkuasa.
Bung Pram senantiasa dikelilingi api. Api rokok, api amarah, api dendam, maupun api pembakaran sampah. Hidup yang dikelilingi api ini menciptakan ketegangan untuk terus mengkondisikan pikiran jernih dan luapan energi kreatif. Membakar sampah mengenyahkan pikiran penat dan timbunan dendam. Proses ini bukan untuk menghilangkan, namun mengalihrupakan kenangan gelap, sebagai sesuatu yang hendak digapai.
Sampah-sampah sejarah dalam hidup Bung Pram, dibakar agar terbebas dari kutukan dan jebakan. Membakar sampah bukan pelarian dari kenyataan pahit, namun kesadaran batin untuk membersihkan noda dalam ingatan dan catatan kehidupan. Ritual yang dilakukan dengan sepenuh sadar.
Kesadaran bertanggungjawab pada sampah sejarah ini, yang sudah mulai luntur pada diri kita masing-masing. Di tengah kepungan pekerjaan, solusi instan, dan beragam nuansa fast lain, kesadaran terhadap ’sampah pribadi’ layak hadir kembali. Kalau tak akrab mengelola sampah, bukan tidak mungkin, badai sampah akan menimbun kehidupan.

*Munawir Aziz[]

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.