Sastra Membingkai Keindonesiaan (Esai-Esai Yudi Latif)

17.07
Sastra Membingkai Keindonesiaan (Esai-Esai Yudi Latif)
Oleh: Munawir Aziz*

Judul Buku     : Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan
Penulis            : Yudi Latif
Penerbit          : Kompas
Cetakan          : I, 2009
Tebal               : xxvi+182 halaman




Manusia Indonesia berada di simpang jalan kebangsaan dengan konstruksi perangkat politik, ekonomi dan budaya. Manusia negeri ini seolah tunggang langgang mengejar—dalam istilah Afrizal Malna—abad yang berlari. Keterdesakan, ketimpangan dan kegamangan dalam mengelola kehidupan berbangsa merupakan pekerjaan utama yang belum selesai. Manusia Indonesia kebingungan mengenali karakter dan membangun indentitas khas. Cita-cita nusantara sebagai kesatuan atas keragaman menjadi proyek penting dalam fokus kerja membangun tradisi dan peradaban.
Lalu, apakah basis dasar, ontologi, epistemologi dan aksiologi dalam kerja budaya manusia Indonesia telah menemukan bangunan kokoh? Tanda dan bahasa hadir sebagai perangkat untuk melakukan tranformasi ide dan aksi agar manusia Indonesia punya produk kreatif serta kepribadian besar. Namun, mengapa sastra—sebagai rumah tanda, teks dan bahasa—semakin berjarak dari kehidupan manusia Indonesia?    

Untuk itulah, Yudi Latif melalui buku ini mencoba memetakan dan mengulas kepribadian manusia Indonesia agar tak mengalami stagnasi budaya maupun keruntuhan tradisi. Sastra—dalam pikiran Yudi Latif—punya peran penting untuk membangun karakter bangsa. Buku ini disusun dengan imajinasi kreatif dan refleksi jernih, yang terdiri tujuh esai panjang atas telaah dengan analisis biografis dan fenomenologis. Yudi Latif, sebagai penulis prolifik dan pengamat yang teliti, menjernihkan kembali tugas sastra untuk membangun kepribadian manusia Indonesia.


Sastra dan aktor yang terlibat di sekitarnya, punya peran untuk membangun kembali basis moral bangsa dengan panah pesan dalam teks. Sastra harus kembali mengulas masalah kebangsaan, kemacetan peradaban dan memberi alternatif pikiran atas fenomena kebudayaan. Maka, sastra tak akan lagi berjarak dengan realitas sosial manusia. Ia tak bisa dipisahkan dari pergulatan politik. Dalam bahasa Yudi Latif, relasi satra dan politik dilukiskan dengan menarik: ‘dekat tapi tak melekat’. 
Dalam amatan Yudi, sastra punya kekuatan tanda, teks dan imajinasi kultural, sebagai panah untuk menyampaikan pesan. Pendidikan moral menitikberatkan dimensi etis dari individu dan masyarakat serta memeriksa bagaimana standar-standar kebenaran dan kesalahan dikembangkan. Agama dan filsafat menyediakan fondasi untuk diskusi-diskusi moral dan pertimbangan-pertimbangan etis tentang bagaimana restorasi nilai-nilai kebajikan berlangsung di lingkungan sekolah (hal. 83). Pendidikan moral dengan basis etis dan estetis, merupakan pintu awal untuk menyemai karakter manusia Indonesia.
Namun, kerja budaya harus terus diperjuangkan. Bukan pada pemihakan politis (who’s winning, siapa yang menang?) maupun sensitifitas ekonomis (where’s the bottom line, di mana untungnya?), akan tetapi lebih pada pilihan kebenaran (what’s right, apa yang benar?). Dalam pikiran Yudi, yang harus diakhiri bukan saja “mitos pribumi malas”, melainkan juga yang memandang “status quo” dan senioritas sebagai ukuran kualitas dan tumpuan perubahan. Mitos baru harus dimunculkan dengan mempercayai kapasitas kaum muda sebagai agen perubahan (Hal. 141-142).
Penjernihan kerja sastra sebagai dasar konstruksi identitas merupakan kontribusi penting untuk membangun kembali imajinasi founding father negeri ini. Maka, upaya penemuan kembali (reinventing) Indonesia harus sejalan dengan upaya pemudaan kembali (rejuvenating) Indonesia. Hal ini bisa dilakukan denganmelakukan transformasi paradigmatik dalam kebudayaan. Strategi kebudayaan harus melakukan reorientasi pada dimensi mitos, logos dan etos (hal 155). Sastra, dengan kekuatan kata dan bahasa, seharusnya menjadi perhatian dan perangkat utama untuk menemukan serta membangun kembali identitas manusia Indonesia. Sastra dengan visi dan ideologi yang konstruksif, akan mampu meminggirkan mental pragmatis yang dirayakan oleh kepentingan pasar. Mental instan yang menjangkiti cara pandang manusia Indonesia akan dirombak dengan kreatifitas dan pesan moral dalam sastra.  
Tantangan terhadap sastrawan telah dilesatkan oleh Radhar Panca Dahana, dalam prolog buku ini. Bahwa, “satu gerakan bahasa, sebagai inti dari gerakan kebudayaan, landasan dari satu kebangkitan dan perubahan pada akhirnya, akan terjadi: dimulai dari beroperasinya, bergeraknya kaki-kaki dari kata-kata”. Bagaimana menyusun kerja kreatif sastrawan untuk menyemai karakter manusia Indonesia? Pemikir dan aktor sastra Indonesia harus jadi subyek untuk mengabarkan dan mengkampanyekan kembali nilai-nilai dasar sebuah bangsa. Yudi Latif memetakan dengan perangkat sosiologi-kultural berbasis sastra dengan jernih dan menantang.


*Munawir Aziz, Esais, peneliti sastra, dan peziarah buku


Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.