Indonesia dalam Peradaban Perut, Teroka Munawir Aziz
[Teroka]
-- Munawir Aziz
"RASA lapar mulai menyiksaku. Aku lemah, aku
muntah beberapa kali. Suatu perasaan amat pusing menyambarku; aku berjalan
terus dan tak mau memerhatikannya, tetapi perasaan itu makin lama makin kuat,”
tulis Knut Hamsun, sastrawan Norwegia, dalam novel Hunger (Sult/Lapar), yang
melambungkan namanya. Ia meraih Nobel Sastra 1920.
Hunger dianggap kritikus sastra dunia menawarkan cara
pandang, penyajian bahasa, serta model penulisan yang detail dan khas. Tokoh
novel ini, sang Aku, berusaha hidup sekuat tenaga, hingga menggadaikan seluruh
barang yang dipunyai. Bahkan, menggadaikan selimut milik teman demi membeli
makanan. Tokoh Aku, merupakan penulis yang sedang berproses menggapai
kematangan.
Knut Hamsun kecil hidup dengan perut lapar dan bekerja
membantu pamannya. Ia tak boleh pulang karena harus bekerja keras. Demi
mengunjungi keluarga, Knut memotong salah satu jari kakinya agar pamannya iba.
Jejak kepedihan terekam utuh di setiap episode hidupnya.
Lapar yang diderita tak hanya dirasa dengan perut
kosong dan haus. Knut merasa terbenam lumpur pekat kemiskinan. ”Aku sendiri
merasa bagaikan suatu serangga kecil yang sedang sekarat, di dalam cengkeraman
kebinasaan dalam dunia yang sudah sesat ini,” ungkapnya.
Kritik pada modernisme
Dibaca dalam konteks kini, kisah Knut Hamsun menampar
manusia modern yang hidup dan ambisinya melulu mengejar kebutuhan biologis.
Sekadar urusan perut. Satu naluri purba yang membesar dan mendominasi,
membentuk semacam adab yang tak hanya menenggelamkan masyarakat pada hasrat dan
nafsu badaniah saja, tetapi juga —dalam kasus di negeri ini —menghadirkan elite
yang sibuk dengan pragmatismenya.
Elite seperti itu tak sempat memikirkan hal lain—yang
bersifat visioner atau holistik—kecuali sekadar proyek, politikus
meng-”obyek”-kan dana negara, pengusaha lupa tanggung jawab sosialnya,
akademisi rebutan kuasa, atau agamawan hanya silat lidah. Rakyat kebanyakan?
Hanya untuk hiruk pikuk kebutuhan seputar perut: mengonsumsi semua hasil
kebudayaan yang hanya memuaskan hasrat-hasrat purbanya yang badaniah.
Perut sebagai energi
Tanpa proses produksi seimbang, ekonomi kapitalistik
hanya akan menghadirkan masyarakat konsumer. Jean Baudrillard (2005)
menyebutnya masyarakat kapitalis mutakhir. Theodor Adorno menyebut sebagai
”masyarakat komoditas” (commodity society). Bagi negeri ini, dua terma itu
tampaknya kontradiktif. Di satu pihak benar, kita tenggelam dalam hidup yang
difalsifikasi ke dalam komoditas. Di lain pihak, kita sama sekali belum
mencapai yang disebut Baudrillard sebagai the late capitalism.
Mungkin inilah ironi adab mutakhir kita. Sebagai
masyarakat atau bangsa, kita menerima adab itu sebagai akibat. Namun, kita tak
pernah mengetahui atau mengalaminya sebagai sebab.
Tak mengherankan bila masyarakat juga elitenya,
seperti tak mengerti yang sedang terjadi, yang mereka lakukan sendiri. Ia
kehilangan orientasi.
Itu terjadi dalam seluruh tingkat dan dimensi
kehidupan. Pada pendalaman spiritual, misalnya, manusia Indonesia kesulitan
memahami dan ”mengalami” agama sebagai jalan meneguhkan eksistensinya secara
utuh. Ia berhenti pada slogan dan jargon skriptural. Makna substansial dari
agama tersingkir di sudut-sudut perpustakaan, terpencil, teralienasi.
Perut, mungkin hanya simbol. Tak hanya untuk manusia,
tetapi kehidupan itu sendiri. Walau posisinya desisif sebagai penggerak hidup
atau kebudayaan, ia bisa menjadi ancaman bahkan bencana, ketika kita
membiarkannya menjadi makhluk liar. Menjadi monster yang siap melahap (hidup)
kita sendiri
Munawir Aziz, peziarah buku.
Sumber: Teroka Kompas, Sabtu, 26 Maret 2011
Tidak ada komentar: