02.02

Raudlatul Ulum : Rumah Kenangan

 

Selama enam tahun, sejarah kehidupan saya mencatat kenangan di Raudlatul Ulum. Enam tahun bukan waktu pendek untuk nafas yang berhembus, kaki yang melangkah dan jantung berdetak. Dari kelas satu Tsanawiyah, sampai kelas tiga Aliyah, saya hadir di altar madrasah dengan harapan penuh.
Enam tahun pula yang membuat saya menjadi nyaman dengan sebutan “santri”, biarpun akhir-akhir ini banyak yang lupa dengan identitasnya, atau sengaja melepaskan diri dari label pesantren. Namun, saya tetap bangga, apapun resikonya.
Kehidupan enam tahun bukan waktu pendek untuk pengalaman. Ada panas, dingin, pagi, senja, hukuman dan prestasi. Juga ada kekompakan. Namun, enam tahun ternyata pendek sebagai kenangan. Saya merasa, baru kemarin sore hadir di Raudlatul Ulum: menghirup aroma kitab kuning, bercanda dengan teman, menempuh ta’zir, menuntaskan hafalan. Atau datang terlambat, sebab rumah saya bukan ukuran dekat bagi sesama kawan: duduk di depan kantor atau memohon ampun dari sang Kiai. Ini kenangan yang tak akan pernah terhapus dari ingatan.
Namun, ternyata kenagan-kenangan ini menjadi puzzle dalam tubuh dan imajinasi. Kenangan ini menyusun petualangannya dan menghimpun ceritanya sendiri. Kisah inilah yang menjadikan sikap manusia Raudlatul Ulum sebagai generasi yang tegar, bertanggung jawab dan siap menempuh resiko. Sebab, sudah terbiasa dengan ta’zir, ketika ada yang tak beres. Saya kira, inilah yang menjadikan lulusan Raudlatul menjadi lebih matang, kreatif dan berani bertarung.
Kenangan dengan teman akrab, gojekan dan saling meledek. Sebetulnya, inilah kenangan yang paling penting. Sebab teman satu visi tak mudah dicari. Banyak teman yang hadir dalam hidup, namun kebanyakan menyapa: datang dan pergi. Di Raudlatul Ulum, saya mengerti betul apa makna persahabatan.
Kisah-kisah yang berserak dalam ingatan, menjadi memoar imajinatif yang sungguh mengesankan. Memoar inilah yang menghidupkan imajinasi saya hingga kini. Kisah-kisah yang pernah selesai untuk ditulis, dan kenangan yang tak bisa runtuh. Memoar ini, lebih dari apa yang ditulis Orhan Pamuk, “Istanbul”, untuk mengenang masa kecilnya di tepi selat Bosphorus, di pinggiran Turki. Atau, ingatan kota Gabriel Garcia Marquez, dan kerinduan dalam sajak Adonis. Lebih dari itu.







Atau serupa puisi. Kenangan-kenangan itu mencatat dirinya sendiri dan menyusun imajinasi kreatif saya. Kenangan itu menjadi puisi yang melampaui dirinya. Maka, saya menjadi kerepotan ketika harus membahasakannya dalam puisi. Sebab, ia melampaui sajak, ia menyesaki khalayak. Ruang yang saya sediakan dalam medium puisi, tak cukup menampung ruh kenangan-kenangan itu. Memaksakan sesuatu sungguh tak baik, bukan? Kenangan ini serupa narasi panjang, yang siap ditulis menjadi novel.
Ada hal yang lebih penting dari sekedar kenangan. Ia hadir sebagai cinta. Jejak-jejak cinta inilah yang membuat saya terbakar semangat sampai sekarang. Di Raudlatul Ulum, saya mengenal cinta. Rasa cinta pada ilmu, melebihi apa yang dirasakan pecinta yang sedang gandrung di malam buta. Ta’dzim pada kiai, pada guru dan cinta pada kehidupan. Sebab, kehidupanlah yang mengajarkan saya ada, dengan adanya orang lain. Raudlatul Ulum mengajarkan bahwa, saya ada sebab adanya yang lain. Ini etika pesantren yang saling memberi ruang bagi orang lain untuk memberi manfaat bersama.
Rasa cinta pada ilmu, menyeret saya untuk rindu-dendam sebagai penulis. Saya menjadi cinta pada teks, pada artefak ilmu pengetahuan. Dan “BANGKIT”, juga “FIRDAUS” adalah kamar bagi saya untuk menyepuh kecintaan pada ilmu pengetahuan, sebagai salik, sebagai penulis. Kamar-kamar ini terus memberi kenangan pada siapa saja yang singgah dan mereguk kenangan di dalamnya. Kamar-kamar ini saya rasa, penting untuk disinggahi serta terus dihidupkan. Sebab, jejak teks inilah yang akan mengabarkan saya, kita dan Raudlatul Ulum, sebagai sesuatu yang pernah ada.
Tentu, kamar kenangan ini ada di rumah besar bernama Raudlatul Ulum. Rumah kenangan inilah yang telah memberi pengalaman, rasa dan kecintaan pada ribuan manusia. Namun, tentu saja apa yang didapatkan menjadi berbeda. Beruntung, bagi saya dan teman-teman lain yang pernah merasakan detik-detik hafalan, kedisiplinan dan ta’zir yang konstruktif. Inilah yang membentuk identitas produk intelektual Raudlatul Ulum, dengan kontribusi bagi publik.
Saya kira, kenangan-kenangan inilah yang membentuk imajinasi saya. Kenangan menyusun dirinya sendiri dalam diri saya yang utuh. Beruntung bagi mereka yang tegar menghadapi apapun di Raudlatul Ulum. Sebab, ini adalah pengalaman, sebab ini adalah kenangan.
Bukankah kenangan dan pengalaman menyusun dirinya dalam diri kita?





Munawir Aziz, esais, mantan pemred BANGKIT 2004. Esai ini lahir berkat dukungan adik2 tim ISRU, yang tak lelah menagih coretan untuk Majalah BANGKIT 2009. 
Link: http://www.facebook.com/munawir.aziz

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.