Kartini dan Air Mata Perempuan

11.58
REPUBLIKA, 21 APRIL 2009


Jejak perjuangan perempuan membela hak kebebasan belum sepenuhnya tergapai. Impian Kartini, untuk mengupayakan ruang pencerahan bagi perempuan, masih menapaki jalan terjal. Di negeri ini, perempuan masih terbelenggu oleh budaya patriarkhi. Walaupun spirit untuk menempatkan perempuan setara dengan laki-laki begitu kokoh, akan tetapi di ruang privat, kebebasan perempuan menjadi dilematis. Maka, Hari Kartini 21 April 2009 ini menjadi ruang kontemplatif untuk merefleksikan ranah kemerdekaan perempuan.
Gerakan emansipasi belum menyentuh kemerdekaan perempuan di ruang privat. Di ruang publik, semangat kemerdekaan dan kesetaraan perempuan mulai berhembus. Aktivis dan politisi perempuan muncul dengan keberanian untuk “menyuarakan” aspirasi kaum hawa. Di ranah politik, kiprah dan porsi kepemipinan perempuan di parlemen dipertanyakan. Hak perempuan untuk bersuara sebagai wakil rakyat, masih menempati tembok tebal. Pemilu 9 April kemarin memberi pembuktian, betapa perempuan dihimpit kesulitan ketika berkompetisi di pentas politik.
Di dunia karier, perempuan mulai mendapatkan iklim kesetaraan. Walaupun belum terlaksana secara utuh, akan tetapi angin segar yang berhembus ini menggerakkan semangat perempuan merengkuh hak kemanusiaannya.
Akan tetapi, ancaman terhadap kebebebasan perempuan senantiasa menghadang. Di ruang privat, relasi perempuan dengan kaum adam, menjadi hal yang relatif. Konsep kebahagiaan dalam rumah tangga tidak didasarkan pada kesetaraan semata, akan tetapi lebih pada faktor cinta dan kasih sayang.
Selain itu, perempuan masih dibayangi kekerasan dan ancaman trafficking. Kasus perdagangan manusia ini menjadi hal pelik di tengah gerakan emansipasi yang menggelora. Trafficking menjadi musuh utama demokrasi dan emansipasi perempuan. Di zaman yang menjanjikan kemerdekaan, pencerahan, emansipasi serta pemberdayaan manusia sekarang ini, ternyata perempuan masih menjadi korban penindasan dan penipuan. Perilaku humanis dan penghormatan hak asasi menjadi hal yang dirindukan.
Kisah tragis korban trafficking seakan tak pernah usang. Persoalan pelik ini mengancam kebebasan perempuan. Hak asasi manusia menjadi hal yang didambakan oleh korban trafficking. Memang, penelusuran jaringan mafia trafficking ini tak mudah membalik telapak tangan. Modus operandi trafficking yang dijalankan untuk mengelabui perempuan sangat rapi dan berkesan menolong.
Calo perdagangan perempuan yang berkeliaran di pinggiran kota membujuk dengan iming-iming yang menggiurkan, bahkan dijanjikan uang yang melimpah dalam waktu sekejap. Para calo yang biasa menipu perempuan ini pandai bersilat lidah dan menawarkan impian kebahagiaan. Sementara, korban penipuan tidak mengerti seluk beluk pekerjaan yang ditawarkan. Korban trafficking hanya terkesima dengan uang dan kekayaan lain yang dijanjikan, di tengah kemiskinan yang menderu di sekitarnya. Korban trafficking kebanyakan berpendidikan rendah, berwawasan minim serta kurang peka terhadap perkembangan informasi. Hal ini dikarenakan, tidak ada sentuhan pengetahuan dan sosialisasi yang memprihatinkan. Sosialisasi yang dilakukan pemerintah tidak merata di pelosok desa.
Korban Penindasan
Di negeri ini, hak kesetaraan perempuan di ranah publik belum terealisasi secara utuh. Seakan, gerakan emansipasi perempuan hanya manis didengarkan dan dilihat di kertas perjanjian, tetapi pahit dirasakan. Hal ini menjadi masalah tersendiri karena penindasan, kekerasan dan tindak perdagangan perempuan masih marak terjadi.
Menurut data yang terekam dalam Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia (Kopbumi), sepanjang tahun 2001 ada sebanyak 74.616 tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri menjadi korban trafficking. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada tahun 2002 memperkirakan sekitar 500.000 warga Indonesia melalui jalur resmi bekerja di luar negeri. Sementara laporan lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Indonesia, termasuk Kopbumi, memperkirakan buruh migran yang bekerja di luar negeri mencapai 1,4 juta sampai 2,1 juta, termasuk yang tak terdokumentasi. Sedangkan, dalam data yang didapat dari Komnas Perempuan, pada tahun 2004, di antara 14.020 perempuan yang mengalami kekerasan, sebanyak 562 kasus (4%) adalah kasus trafficking.
Khusus untuk kasus trafficking yang melibatkan korban warga negara RI di Malaysia, sepanjang 2006 mencapai jumlah 2.846. Sedangkan jumlah akumulasi selama 4 tahun dari 2003-2006 mencapai 8.886 kasus. Negara lain yang biasanya menjadi tujuan dari sindikat terorganisasi adalah antara lain Hongkong, Jepang, Swedia, Korea. Sedangkan dalam data yang terdokumentasi dalam Deputi Kesejahteraan dan Perlindungan Anak Depkes RI, setiap tahun Indonesia mengirimkan 2,9 juta tenaga kerja wanita (TKW) ke mancanegara. Dari hasil studi yang dilakukan, 10 persen dari jumlah TKW itu, yakni 290.000 bermasalah, termasuk kasus trafficking.
Sedangkan di tahun 2007, kasus trafficking merenggut masa depan lebih dari 1.846 korban. Berdasarkan data International Organization for Migration (IOM), korban trafficking dari Indonesia paling banyak berasal Kalimantan Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Nusa Tenggara Barat. Tahun ini, trafficking masih menjadi monster menakutkan yang menindas hak asasi.
Belenggu Kekerasan
Kekerasan yang menimpa perempuan juga semakin memprihatinkan, mereka tersakiti oleh kekuatan yang meruntuhkan gerakan emansipasi. Sebagai bahan analisis dan refleksi, data yang terkumpul di Komnas Perempuan mengabarkan bahwa selama kurun waktu tiga tahun, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan mengalami pertambahan yang sangat memprihatinkan menjadi 20.391 kasus (2005). Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2004 (14.020 kasus ), 2003 (5.934 kasus), dan 2002 (5.163 kasus). Sebesar 82% (16.615 kasus) dari total 20.391 kasus, adalah kasus kekerasan dalam keluarga dan relasi personal. Sedangkan kekerasan yang terjadi dalam komunitas mencapai 15% (3.129 kasus), sisanya masuk dalam kategori kekerasan negara (0.3%) dan 2,7%nya termasuk kategori lain-lain.
Data-data korban trafficking dan kekerasan yang disuguhkan bukanlah sekedar dijadikan untuk mengisi ruang kognitif saja, tetapi menjadi bahan renungan, bahkan menjadi tamparan, betapa gerak langkah kita membina kaum perempuan masih jauh dari harapan.
Agenda Masa Depan
Momentum perayaan Hari Kartini, hendaknya menjadi ruang dialog terhadap spirit perjuangan dan gagasan tokoh ini. Impian perjuangan kartini, tentang hak kesetaraan bagi perempuan, hendaknya diteruskan dengan meningkatkan kecerdasan kaum hawa. Tentu, dukungan dari berbagai pihak sangat diperlukan. Hambatan perjuangan kesetaraan, semisal trafficking, budaya patriarkhi, dan paradigma stereotype tentang perempuan, hendaknya dibenamkan dalam jurang masa lampau. Sudah selayaknya perempuan menempati avant garde dalam perjuangan kesetaraan. Dalam analisa Amina Wadud (2006), perempuan juga memainkan peran penting dalam mewujudkan gerakan modernitas yang melahirkan kemajuan masa kini. Keteladanan Kartini tak dapat kita hapus dari sejarah kebangsaan. Munculnya perempuan semacam Bunda Teresa, Hillary Clinton (Amerika), Yulia Tymosenko (PM Ukraina), Megawati Soekarno Putri, Sinta Nuriyah Wahid, Nafisah Sahal, Badriyah Fayumi, Suciwati Munir (Indonesia) dan aktifis perempuan lain menjadi penanda bahwa era kebangkitan perempuan telah menampakkan hasil luar biasa. Memperingati Hari Kartini, tak sekedar memuja simbol kewanitaan, akan tetapi membuka ruang dialong untuk mencerap jejak perjuangan dan kecemerlangan pemikiran Kartini.


*MUNAWIR AZIZ []

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.