Representasi Perempuan di DPRD Jateng

11.59
Munawir Aziz


Pemilu legislatif 9 April kemarin telah menghasilkan kemungkinan dan harapan baru. Hasil perolehan suara yang didata oleh KPU maupun KPUD, menunjukkan peta pergeseran kekuatan politik di berbagai daerah. Di kancah nasional, partai yang memenuhi standar parliamentary threshold atau 2,5 % suara, telah memasang strategi untuk memulai perjuangan di parlemen.
Di Jawa Tengah, pergeseran kekuatan politik menimbulkan refleksi serta espektasi. Dari 14.962.060 suara sah, sepuluh parpol berhasil mengukuhkan kadernya di DPRD Jateng. PDI-P masih bercokol di posisi teratas, berhasil menempatkan 23 kader. Disusul Partai Demokrat (PD) dengan raihan 16 kursi, dan Golkar 10 kursi. Posisi tengah diduduki oleh PAN dan PKS, yang mengemas 10 kursi. Selanjutnya PKB (9 kursi), Gerindra (9 kursi), disusul Hanura (4) dan PKNU (1).
Namun, ada hal menarik untuk dianalisis. Dari 100 anggota DPRD Jateng periode 2009-2014, 76 diantaranya merupakan wajah baru, dengan visi dan style yang berbeda dari sebelumnya. Ini jelas akan membawa dampak signifikan bagi kebijakan yang digelorakan oleh anggota DPRD Jateng.
Selain itu, yang patut dicatat sebagai hal menggembirakan adalah meningkatkan jumlah perempuan sebagai anggota dewan. Jumlah politisi perempuan yang berhasil mendapat jatah kursi di DPRD Jateng meningkat, dari 15 menjadi 21. Artinya, wakil perempuan yang berhasil menduduki kursi dewan, meningkat 6 persen dari masa sebelumnya. Di DPR, juga terjadi peningkatan, dari 63 menjadi 99 orang anggota dewan yang siap berkiprah di Gedung Senayan. Peningkatan ini membawa angin segar bagi perjuangan kesejahteraan perempuan.
Walaupun ada kekhawatiran selepas adanya putusan MK Nomor 22-24/PUU-IV/2008, yang menghapus nomor urut setiap caleg. Kompetisi pemilu legislatif kemarin, bebas dari istilah nomor topi, nomor baju, maupun nomor sepatu. Namun, kegelisahan sejumlah aktifis yang menyayangkan batalnya pasal 214 huruf a,b,c,d,e UU No/2008 tentang pemilu DPR, DPRD dan DPD, akhirnya tidak terbukti. 


Di DPRD Jateng, PDI-P menempatkan 8 kader, Golkar dan Partai Demokrat masing-masing 3 kader. Sedangkan PAN 2 kader, disusul PKB (1) dan Gerindra (1). Dari 10 kader PKS di DPRD Jateng, tidak satupun perempuan yang menjadi wakil rakyat. Begitu pula dengan PPP, yang tak mengakomodasi perempuan, biarpun memperoleh 7 kursi dewan (Kompas, 20/5/09). Walaupun sudah meningkat, namun keterwakilan perempuan masih menjadi tanda tanya besar untuk memperjuangkan hak dan aspirasi kaum hawa. Harapan 30% wakil perempuan, yang sebelumnya nyaring dikampanyekan masih jauh dari kenyataan yang diraih.
Espektasi
Dari data di atas, PKS dan PPP, dua partai yang ikut menentukan warna kebijakan DPRD Jateng, tak memiliki wakil perempuan. Hal ini akan memberi efek bagi pergerakan dan kebijakan yang diperjuangkan. Walaupun tak seluruhnya mempengaruhi fokus partai, namun hasil ini akan mempengaruhi usaha untuk memperjuangkan aspirasi pro-perempuan. Tapi, hal ini dapat dijembatani dengan komunikasi internal dan pemantapan visi partai mengenai perjuangan kebijakan yang terkait perempuan.


Kiprah perempuan di gedung parlemen, masih dinanti oleh berbagai persoalan pelik yang belum terselesaikan. Problem trafficking yang marak terjadi, menjadi salah satu pekerjaan perempuan di ranah legislatif. Selama ini, Jawa Tengah memang menjadi salah satu ”pasar” perdagangan perempuan terbesar. Berbagai kasus perdagangan perempuan kerap terjadi di Pati, Jepara, Purwodadi, Brebes, maupun daerah lain. Problem ini belum terselesaikan biarpun banyak pihak lelah berteriak dan memperjuangkan. Kasus perdagangan perempuan, sebetulnya juga masalah pelik yang membikin malu berbagai elemen.
Gerakan antisipasi perlu digencarkan untuk melindungi perempuan dari tindak kekerasan. Ini tugas penting, walaupun sering tersingkir dari perhatian. Problem di ranah lokal yang memiliki implikasi bagi perkembangan politik Jateng juga perlu direspon oleh perempuan di DPRD Jateng. Pro-kontra pembangunan pabrik semen di Sukolilo, Pati, masih perlu ditangani dengan perhatian serius. Di berbagai aksi, banyak perempuan yang menjadi bagian untuk menolak maupun mendukung. Anggota DPRD patut memberikan advokasi kepada perempuan agar tak menjadi korban lebih tragis. Perempuan perlu diberi pengertian, penyadaran dan pengetahuan agar sadar terhadap segala tindakan yang dilakukan. Tugas ini penting agar perempuan tak sebatas obyek, namun menjadi subyek yang merdeka.
Kasus kekerasan rumah tangga, komersialisasi perempuan dan beragam masalah lain, masih menunggu sentuhan perhatian. Pembangunan pro-perempuan perlu diupayakan untuk menghilangkan sekat diskriminasi. Kebijakan yang peduli perempuan perlu diperjuangkan secara serius untuk mendukung aspirasi dan hak kaum hawa yang selama ini termarginalkan.
Komunikasi
Meningkatkan representasi perempuan, menjadi meningkatkan espektasi terhadap kinerja DPRD Jateng mendatang. Visi-misi anggota dewan, yang dikampanyekan selama ini perlu dibuktikan dengan tindakan kongkret. Kerja serius dengan godaan korupsi dan manipulasi, menjadi pembuktian untuk mengemban amanah rakyat. Politisi perempuan yang mendapat kesempatan sebagai wakil rakyat, perlu membuktikan diri layak dipilih dan menjadi kebanggaan.
Selama ini, komunikasi dan pengalaman menjadi kunci pertarungan politik di tengah berbagai gesekan kepentingan. Ide kreatif, ketajaman visi, dan keberanian untuk memperjuangkan aspirasi merupakan modal penting bagi perempuan untuk memperebutkan kesempatan di tengah dominasi. Inilah yang menjadi titik harapan bagi ribuan perempuan di Jawa Tengah. Politisi perempuan hendaknya bisa melepaskan diri dari pencitraan yang menggunakan simbol tubuh.
Politik pencitraan, berupa seksi dan cantik akhirnya menikam visi dan aspirasi. Hal inilah yang diungkapkan Yasraf Amir Piliang (2004), sebagai “politik tubuh” yang merugikan. Politik ide bertarung dengan politik tubuh, untuk menghasilkan perempuan dengan visi politik tajam.

*MUNAWIR AZIZ []
FORUM KOMPAS, RABU, 04 JUNI 2009

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.