Ketika "Sang Samin" Ganti Sandangan

12.02
Munawir Aziz 


Komunitas sedulur sikep di Bombong, Baturejo, Sukolilo, Pati, sedang berduka. Meninggalnya Mbah Tarno, sesepuh sedulur sikep di kawasan ini merupakan refleksi kebudayaan yang patut direnungkan. Mbah Tarno,--menurut keluarga—lahir pada tahun 1908, menghembuskan nafas terakhir pada Selasa (23/6), sekitar pukul 14.00 WIB. Kepergian Mbah Tarno, bagi warga sedulur sikep, pengikut Samin Surontika, direnungkan tanpa tangisan. Mbah Tarno, merupakan sesepuh sedulur sikep yang tersebar di Blora, Sukolilo (Pati), Undaan (Kudus), Bojonegoro dan beberapa daerah lain.
Mbah Tarno dimakamkan bersebelahan dengan mendiang istrinya, di samping kediamannya, di dukuh Bombong, Sukolilo. Wakil Gubernur Rustriningsih, Bupati Tasiman dan beberapa tokoh serta masyarakat, hadir pada pemakaman tokoh sedulur sikep ini, pada Rabu (24/6). Bagi keluarga dan sedulur, Mbah Tarno itu hanya berganti rupa dan menempuh ruang-waktu yang lain.
Ritual pemakaman tokoh sedulur sikep dalam kacamata awam, akan terkesan sebagai upacara sederhana. Namun, kalau dibaca dalam perspektif-semiotik yang lebih jernih, ritual kematian terungkap sebagai tradisi yang berlandaskan spiritual-magis. Biarpun tanpa upacara dan kepungan doa, kematian disaksikan dengan penghayatan dan keteguhan hati. Simbol-simbol kematian menjadi sesuatu yang terus hidup, dengan tafsir dan olahan imajinasi yang terus hadir. Kematian, akhirnya, bukan menjadi momentum sederhana. Sebab, pada ruang ini, refleksi atas ilmu dan laku kehidupan terus dilakukan serta disaksikan. Simaklah, pernyataan atas momentum kematian, dari warga sedulur sikep ini;
Mbah Tarno iku ganti sandangan. Sandangan iku ono wektu rusak. Lha saiki sandangan sing dienggo Mbah No (Tarno) iku rusak. Nek sandangan iku rusak, ra perlu ditangisi (Mbah Tarno itu ganti pakaian. Pakaian itu ada waktu rusak. Sekarang, pakaian yang dipakai Mbah No rusak. Kalau pakaian itu rusak, tidak perlu ditangisi)”, ungkap Wartoyo, putra Mbah Tarno.
Pernyataan ini menjadi simbol betapa kaum Samin memiliki prinsip kehidupan yang berpijak pada keyakinan substansial. Nyawa manusia hanya menjadi sesuatu yang artifisial, yang dapat rusak dan lumpuh. Kehidupan dunia menjadi titik tolak untuk menempuh kehidupan lain, menuju ruang-waktu hidup yang asali.




Keyakinan eskatologis dengan bingkai kearifan transendental ini menyelimuti kematian Mbah Tarno. Nyawa ditamsilkan sebagai pakaian, bagian tubuh yang dapat rusak dan berganti rupa. Pakaian dapat berganti-ganti, namun tubuh tetap menjadi identitas yang murni.
Warga sedulur sikep meyakini ”laku”, sebagai lembaran dan lambaran kehidupan. Tindakan sebagai laku, yang menyiratkan moralitas dan kebaikan, merupakan aktualisasi dari keyakinan terhadap ”agama adam”. Ungkapan transendental dan keyakinan hidup, bukan didasarkan pada momen dan ritual agama yang terlembaga. Keyakinan sebagai laku dan amal, merupakan simbol dalam ruang transendental sedulur sikep. Tuhan menjadi daya pengingat yang tak terungkap. Senada dengan pandangan Hegelian, Tuhan adalah sesuatu yang tak bisa dipahami dan tak terpikirkan. Pengetahuan tidak mengetahui apa-apa, dan pengetahuan harus mengungsi pada keyakinan. Ilmu dan laku, sebagai ungkapan eksistensial kehidupan, menjadi perangkat untuk mengenal hidup secara jernih.
Bagi pengikut ajaran Samin, kehidupan dapat berganti dengan wajah dan wujud yang entah, untuk menapaki arus kehidupan yang lain. Sikap dan keyakinan seperti inilah yang menjadi warisan serta pedoman hidup bagi warga sedulur sikep.



Titik Refleksi
Meninggalnya Mbah Tarno merupakan titik refleksi atas perjuangan warga sedulur sikep dalam mempertahankan pendapat, menjaga tradisi serta mengelola kearifan lingkungan. Selama beberapa tahun belakangan, warga sedulur sikep di Sukolilo, getol mempertahankan kelestarian lingkungan dari serbuan industri semen. Mbah Tarno, di tengah perjuangan mempertahankan pendapat, hadir sebagai referensi dan rujukan pendapat bagi warga sedulur sikep. Di berbagai acara penting yang melibatkan musyawarah, Mbah Tarno sering memberikan pandangan dan sikap hidup yang sesuai dengan warisan nilai yang telah digariskan oleh sesepuh kaum Samin.
Mbah Tarno meninggal dalam nuansa kemenangan. Sehari sebelumnya, Selasa (21/6), beberapa warga sedulur sikep yang terlibat kasus hukum, atas segketa perusakan mobil tim Semen Gresik (SG), pada Januari lalu, dibebaskan dari pengadilan. Setelah menjalani proses hukum selama beberapa bulan, akhirnya 9 warga sedulur sikep terbebas dari segala tuduhan. Tentu, peristiwa ini membekas dalam benak ingatan warga sedulur sikep, masyarat Sukolilo dan warga Pati.
Perjuangan untuk menjaga tradisi, mengekalkan kehijaun lingkungan dan mempertahankan kearifan, merupakan pilihan hidup dengan konsekuensi serta gempuran tragedi tak pernah surut. Dan, dapat disaksikan dari berbagai aksi, warga sedulur sikep getol menyuarakan pendapat dengan perspektif dan keyakinan yang terus berkobar. Di berbagai aksi yang melibatkan massa, warga sedulur sikep bersama dengan masyarakat sekitar, terkoordinir dan bergotong royong secara rapi.
Pada titik ini, kepergian Mbah Tarno, bukanlah momentum jeda untuk mengurangi spirit perjuangan warga sedulur sikep. Spirit perjuangan dan kearifan hidup yang diperagakan Mbah Tarno, dapat terus tumbuh untuk menginspirasi warga sedulur sikep dan masyarakat lain dalam mempertahankan tradisi serta mengelola lingkungan. Saya yakin, akan lahir Mbah Tarno-Mbah Tarno baru yang menjadi referensi hidup bagi warga sedulur sikep untuk bersikap. Kita tunggu saja!.

*MUNAWIR AZIZ []

SUARAMERDEKA, 10 JULI 2009

2 komentar:

  1. wah, tulisan mu apik-apik leh mas. menggali budaya yang ada di kota pati ku tercinta. kapan-kapan ajarin yo mas?

    BalasHapus
  2. makasih mas,dah di angkat perjalanan hidup Eyang Kakung jadi tulisan yg bagus,sy sbgai keturunannya mengucapkan bnyk terima kasih.

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.