Mencari Pahlawan Antikorupsi
Mencari Pahlawan Antikorupsi
Oleh : Munawir Aziz*
Korupsi jadi
wabah yang terus memburu korban dan menyusup dalam mental manusia Indonesia.
Mental koruptif warga negeri ini sudah mencapai titik akut. Pemegang kuasa dari
pucuk tertinggi sampai di struktur desa sering tergoda untuk mempraktikkan
korupsi. Tindakan koruptif seolah jadi watak, mekanisme berpikir dan strategi
bekerja yang mengesampingkan sikap kreatif. Mekanisme kerja manusia koruptif
didasarkan pada struktur berpikir instan yang merasuk dalam pikiran dan tubuh.
Mental dan skema kerja instan ini menghapus kreatifitas untuk menjadi manusia
produktif.
Sikap korupsi
jadi pertaruhan di persimpangan jalan reformasi birokrasi di negeri: perjuangan
melawan kemungkaran korupsi diteruskan, atau disumbat dengan rekayasa
kriminalisasi pejuang antikorupsi? Dewasa ini, pejuang anti korupsi sedang
menghadapi dilema: bagaimana mungkin usaha menutup pintu korupsi akan berjalan
mulus jika sistem hukum negeri ini masih memihak penjahat keadilan dan
koruptor?
Perjuangan anti
korupsi yang menggelora dalam iklim reformasi pasca 1998 penting untuk terus
didukung. Mental koruptif yang mengidap dalam imajinasi manusia Indonesia harus
dibongkar, meski berbenturan dengan resiko dan pengorbanan. Kasus-korupsi jadi
perhatian besar manusia Indonesia jika ingin mencapai tingkat kemandirian,
reformasi birokrasi, kesejahteraan ekonomi, dukungan sistem hukum dan
stabilitas politik.
Namun,
perjuangan antikorupsi ini sedang mencapai titik gawat: sengketa KPK, Polri dan
Kejaksaan sedang memasuki ruang pelik. Rumitnya konflik hukum dan politis ini
menjadi tontonan miris di tengah upaya reformasi hukum negeri ini. Chandra M.
Hamzah dan Bibit S. Rianto, dua wakil pimpinan (non-aktif) KPK didakwa Polri
telah menyalahgunakan wewenang dalam kasus korupsi yang melibatkan pejabat
elite dan pengusaha. Namun, kedua pejabat KPK ini menerima dukungan dari ribuan
masyarakat dan tokoh penting negeri. Ketika ditahan Polri beberapa waktu lalu,
calon dan mantan presiden pun bersedia menjadi penjamin.
Konflik
Cicak-Buaya ini terus bergulir menjadi isu nasional yang sangat politis. Kasus
ini diduga berkaitan dengan kasus masalah uang triliunan rupiah Bank Century.
Transkip dan rekaman yang menjadi bukti rekayasa hukum Indonesia bahkan
mencatut nama R1. Kabareskrim Polri Komjen Susno Duadji dan Jaksa Muda
Intelijen AH. Ritonga juga disinyalir terlibat dalam kasus korupsi
Anggoro-Anggodo. Usaha Tim Delapan yang dipimpin Adnan Buyung Nasution, untuk
mengusut dan mencari fakta kongkret sengketa rumit dalam rekayasa hukum jadi
pintu melihat kejelasan kasus ini.
Membaca Indonesia
Kasus korupsi
yang menjadi konflik antar pejabat, perdebatan pegiat hukum dan isu politis di
ranah elite, penting untuk segera dicari titik terangnya. Saat ini, Indonesia
sedang membutuhkan pahlawan anti korupsi. Pahlawan kemerdekaan dan kebangsaan
negeri ini sudah sedemikian banyak, namun pahlawan anti korupsi belum
diikrarkan. Pahlawan anti korupsi akan berjuang dengan mental asketis, analisis
progresif dan kerja revolusioner. Aktifis dan pejuang anti korupsi hadir untuk
memberi perhatian dan kesaksian narasi sejarah perselingkuhan uang - kuasa di
Indonesia.
Mental koruptif
manusia Indonesia sudah saatnya dirombak dengan imajinasi dan cara berpikir
yang lebih segar. Membaca manusia Indonesia dewasa ini adalah membaca tubuh
korupsi, kepala konflik, tangan rekayasa dan kaki dusta. Kasus korupsi yang
menghantam manusia Indonesia dewasa ini, merupakan cermin refleksi masa lalu,
membaca masa kini, dan meneroka masa depan.
Mental pengabdi
dan budak jadi warisan kolonial yang masih dianut manusia Indonesia. Mental
budak jadi tanda bahwa korupsi masih ada. Genealogi korupsi manusia Indonesia
bisa dilacak dari mental pengabdi warisan kolonialisme selama lebih dari tiga
abad. Sikap inilah yang ditentang Bung Hatta ketika menyemai mental mandiri
manusia Indonesia.
Menurut
Mohammad Hatta (1953: 62), “rakjat yang bersifat dan bersemangat budak, memang
sudi mengurbakan diri untuk golongan yang dipertuan atau untuk kaisar dan
radjanja. Akan tetapi rakjat yang sadar akan harga dirinja tidak akan mudah
disuruh berbuat demikian. Istimewa rakjat yang insaf akan harga dirinja!.
Pendek kata bagaimana djuga soal ini dibolak-balik, hanja satu djuga keputusan jang
didapat: roh kebangsaan adalah satu masalah jang penting dalam pergerakan
kemerdekaan jang tidak dapat disia-siakan, sekalipun oleh mereka jang tidak
menyukainja.” Roh kebangsaan manusia Indonesia sedang digempur badai korupsi
yang tak kunjung usai.
Pahlawan asketis
Indonesia
seolah jadi panggung pertunjukan rekayasa hukum yang rumit, pelik dan
melibatkan banyak elite politik. Orientasi pejabat negeri ini sering berujung
akumulasi profit dan penumpukan kekayaan. Pahlawan korupsi yang berjiwa asketis
dan bekerja progresif sangat dirindukan.
Keith Foulcer
(2008) melukiskan bagaimana pahlawan dan founding fathers negeri ini
berani memperjuangkan impian yang pada waktu itu hampir mustahil tercapai.
Perjuangan hidup pejuang kemerdekaan didasari asketisme politik dan visi
kebudayaan yang kongkret. Dalam risetnya tentang politik bahasa dan kemerdekaan
Indonesia, Foulcer mengungkap sikap pejuang pada masa persiapan kemerdekaan
yang rela kejar-kejaran dengan militer kolonial agar tak tertangkap ketika
memberi semangat pemuda di beberapa wilayah.
Pejuang semisal
Bung Karno, Hatta, Yamin, Armijn Pane dan beberapa tokoh lain yang ngotot untuk
memakai bahasa Indonesia sebagai sarana untuk memperjuangkan cita-cita besar
kemerdekaan. Walaupun Indonesia masih ditentang oleh pejabat kolonial, namun founding
father ini bertekad untuk menghadirkan pewujudan nation-state
bernama Indonesia, yang oleh Arnold Toynbe sebagai imagine community.
Sikap asketis
para pendiri pahlawan kemerdekaan jadi refleksi untuk membaca tokoh Indonesia
dewasa ini. Cindy Adams (1965) dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Masyarakat
Indonesia, mengisahkan bagaiman Soekarno hidup dengan uang terbatas ketika
mengorganisasi pemuda. Bahkan, menantu H. Cokroaminoto ini hidup dengan sedikit
dana untuk menghidupi keluarga dan membiayai perjalanan serta kerja sosial
mencerdaskan pemuda. Bung Karno dan tokoh-tokoh lain juga sering iuran untuk
membiayai perjuangan.
Bagaimana
kondisi manusia Indonesia mutakhir? Sikap asketis susah ditemukan dalam
laku-ilmu manusia negeri ini. Pahlawan yang punya mental asketis, visi
antikorupsi dan keberanian bertindak sedang dinanti. Rekayasa hukum, konflik
elite, dan skandal korupsi di Indonesia membutuhkan pahlawan penyelamat.
Ganyang Mafia (GM) yang digelorakan presiden Yudhoyono jadi gerbang dukungan
perjuangan antikorupsi. Pahlawan antikorupsi sedang dinanti, pikiran dan kerja
kreatifnya penting untuk menyelamatkan bangsa besar bernama Indonesia.
*Munawir Aziz, Esais dan peneliti, lahir di Pati.
Esai ini dimuat di Jawa Pos, 11 November 2009.
semoga saya bisa menjadi bagian dari pahlawan itu...
BalasHapusbuat referensi aja kang : PIKIRAN YANG TERKORUPSI, karya Kwik Kian Gie
http://mostusgrey.blogspot.com/2010/11/tantangan-pemberantasan-korupsi-di.html