Perlawanan Semiotik Ahmad Dhani

00.57
Perlawanan Semiotik Ahmad Dhani
Oleh : Munawir Aziz*


Ahmad Dhani hadir sebagai musisi tanah air yang mampu memberi corak dan arus dalam narasi musik Indonesia . Dhani lahir dengan bakat dan semangat besar untuk memberi kontribusi dalam jagad musik nusantara. Lewat manajemen ’Republik Cinta’, cita-cita besar Ahmad Dhani sebagai raja musik Indonesia pelan-pelan terbangun. Karakter musik Dhani kental dengan aroma pemberontakan terhadap kemapanan. Ia membangun grup Dewa 19 dengan idealisme yang tak kenal luntur.
Visi musisi nyentrik kelahiran Surabaya, 26 Mei 1972, dalam jagad musik Indonesia mampu memberi keterangan pada khalayak betapa kesenian penting sebagai magnet. Musik Dhani hadir untuk menyampaikan kritik, memberi alternatif dan menghadirkan pertanyaan pada pandangan mayor. Lagu-lagu dengan sekian tema terus lahir agar manusia Indonesia tak lupa dengan persoalan. Lagu Dewa 19 terkadang memberi tamparan namun sesekali menebarkan kasih sayang.
Manajemen Republik Cinta memberi peluang bagi sekian band dan musisi untuk mencatatkan diri sebagai bab dalam buku besar sejarah musik Indonesia. Sekian band dikelola dengan improvisasi untuk memberi keyakinan pada publik bahwa musik Indonesia masih layak memberi kesaksian tentang perjalanan nilai humanisme di negeri ini. Band dan musisi saling memberi peluang hadirnya kebebasan kreatif: ‘Andra and The Back Bone’, ‘The Rock’, ‘Maha Dewi’, ’The Virgin band’, ’The Lucky Laki’, ‘Once’, dan ’Mulan Jameela’.
Dhani memberi kelonggaran pada punggawa Dewa 19 untuk melakukan improvisasi kreatif dengan membentuk band-band lewat sekian lagu beken. Riwayat Ari Lasso juga tak luput dari sentuhan imaji dan kreatifitas bermusik Dewa 19.

 
Kisah cinta Ahmad Dhani terus menjadi kabar di berbagai media untuk menyapa publik. Berita hubungan Dhani-Maia menyeret sensasi ketika hadir di medan infotainment. Kisah ini tak berakhir menjadi picisan. Hubungan asmara yang retak ini jadi komodifikasi infotainment. Namun, Dhani tak jadi obyek dalam narasi sensasional. Kisah ini memberi peluang ragam tafsir dengan resiko kepenatan publik.
Komodifikasi konflik
Biografi Dhani memberi peluang pembahasan tentang pembentukan identitas. Narasi dan kiprah Dhani dalam bermusik, mengelola grup band maupun sebagai pribadi, terus menempati bidikan utama dalam ruang info media. Dhani menafsirkan dan ditafsirkan. Sebagai pribadi, Dhani ditafsirkan dengan seperangkat isu yang menempel pada dirinya. Relasi pelik namun menggelitik antara diri, istri dan anak-anak jadi komodifikasi.
Kisah perlawanan semiotik yang dilancarkan di atas panggung maupun dalam keseharian memberi kabar tentang model pengelolaan tanda. Dhani seolah piawai memainkan tanda dengan merancang isu dan menempatkan pada konteks tepat. Produksi tanda dan komerialisasi ide ini jadi pintu Dhani untuk menyapa publik. Kapitalisasi konflik dipakai sebagai senjata ampuh untuk mendongkrak citra dengan sensasi dan adegan genit. Kisah heboh dan konflik selalu hadir menemani produksi ide melalui Dewa 19 dan band-band Republik Cinta.


Pada pertengahan 2005, Dhani pernah mendapat serangan dan hujatan dari FPI ketika menempatkan logo album. Logo ini ditafsirkan sebagai representasi kaligrafi yang menyebut asma Tuhan (Allah). Logo mirip kaligrafi ini ditempatkan di altar konser. Konflik ini bahkan masuk ke ranah hukum, menyeret pro-kontra dari pegiat hukum, musik, media dan elite politik. Namun, kemenangan sebenarnya menjadi milik Dhani. Penjualan album musiknya meroket dengan bantuan iklan gratis di sekitar konflik.
Kisah komunikasi Dhani dengan punggawa juga jadi kabar untuk memproduksi tanda yang berperan sebagai iklan gratis. Pemecatan awak band sering jadi iklan dan santapan hangat infotainment. Dhani terus melaju dan konflik berlalu. Narasi hubungan keluarga juga memberi ruang dalam produksi tanda dan permainan citra. Kisah Dhani-Maia jadi sensasi yang hadir dengan hujatan dan penghormatan. Namun, tak seperti kisah artis lain, pengelolaan konflik ini malah jadi komodifikasi yang menguntungkan. Dhani dan Maia berkompetisi untuk menciptakan lagu yang saling menyindir. Lagu ”Madu 3” jadi akumulasi agar kedua subyek saling menyapa: konflik sebagai permainan dan humor. Konflik jadi medan kontestasi yang memberi ruang pencapaian kreatifitas.

Perlawanan semiotik
Kreatifitas bermusik dan memproduksi tanda beriringan dalam biografi seni Ahmad Dhani. Jejak sufistik hadir dalam musik garapannya. Lagu-lagu populer namun tak picisan terus menyapa penggemar musik tanah air. Sementara, permainan semiotik dihadirkan untuk menciptakan karakter lewat berbagai ikon: mode rambut dan pakaian. Busana yang dikenakan Dhani memberi ketegasan untuk menyampaiakan pesan. Kaos, baju, celana maupun jaket sering jadi tren yang menyihir penggemar. Pakaian jadi simbol untuk merepresentasikan gagasan genuine. Logo dan pakaian saling menguatkan pesan yang memberi peneguhan eksistensi.
Kajian busana memberi tafsir untuk menangkap pesan melalui produksi tanda. Roland Barthes dalam Fashion System (1983) mencoba membedakan tiga tipe busana, yakni (1) image clothing: busana yang ditampilkan sebagai fotografi atau gambar; (2) written clothing: busana yang dideskripsikan secara tertulis atau ditransformasikan ke dalam bahasa, (3) real clothing: busana aktual yang dapat dikenakan pada tubuh manusia, busana sebagai obyek.
Pakaian memberi tafsir imajiner dan membentuk identitas. Kris Budiman (2004: 95) menganggap politik identitas melalui pakaian memainkan peran penting. Menurutnya, ”busana dan pakaian memainkan peran yang tidak kalah signifikan dalam gerak sejarah, di dalam dinamika perubahan masyarakat dan kebudayaan, di dalam proses-proses sosial dan politik”.
Produksi tanda melalui busana yang diperagakan Ahmad Dhani tak sekedar sensasi. Strategi semiotik ini sering gagal dimainkan oleh artis dan musisi lain. Namun, dalam imajinasi Ahmad Dhani, subtansi musik dan tanda melalui pakain hadir berkelindan.
Identitas seni
Visi kesenian Ahmad Dhani memberi pertanyaan dan pernyataan tentang identitas. Sebagai subyek, Ahmad Dhani membentuk identitas lewat perangkat semiotik, kreatifitas musik dan komodifikasi konflik. Obyek seni sebagai tanda dapat dibaca dalam kerangka pikir budaya. Yasraf Amir Piliang (2003: 222-223) menganggap bahwa, ”obyek seni adalah komponen dari kebudayaan benda (material culture). Obyek seni dapat dikaji sebagai unit kebudayaan. Dengan demikian, ia berfungsi sebagai tanda, yang mempunyai referensi pada fenomena kultural”. Pesan musik Dhani sering memberi kritik dan alternatif dengan jejak kultural yang tak lekang.
Lagu ”Cintaku Tertinggal di Malaysia” sepertinya ingin memberi pertanyaan tentang relasi Indonesia dengan negeri jiran. Lagu ”Laskar Cinta” terus diingat untuk menyampaikan kesaksian dan harapan tentang hadirnya kedamaian di negeri yang sering dihujani teror, bom dan konflik elite politik. Lagu-lagu lain juga memberi kesaksian dan pesan kontekstual.
Biografi Ahmad Dhani memberi kesaksian perlawanan semiotik dan komodifikasi konflik di panggung musik tanah air. Perlawanan semiotik ini ingin menghadirkan pertanyaan agar publik musik tak absen dari imajinasi kreatif.

*Munawir Aziz, Esais dan peziarah.
Esai ini dimuat di Bianglala, Suara Merdeka Minggu, 8 November 2009.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.