Perlawanan Semiotik Ahmad Dhani
Perlawanan Semiotik Ahmad Dhani
Oleh : Munawir Aziz*
Ahmad
Dhani hadir sebagai musisi tanah air yang mampu memberi corak dan arus dalam
narasi musik Indonesia . Dhani lahir dengan bakat dan
semangat besar untuk memberi kontribusi dalam jagad musik nusantara. Lewat
manajemen ’Republik Cinta’, cita-cita besar Ahmad Dhani sebagai raja musik
Indonesia pelan-pelan terbangun. Karakter musik Dhani kental dengan aroma
pemberontakan terhadap kemapanan. Ia membangun grup Dewa 19 dengan idealisme
yang tak kenal luntur.
Visi musisi nyentrik kelahiran
Surabaya, 26 Mei 1972, dalam jagad musik Indonesia mampu memberi keterangan
pada khalayak betapa kesenian penting sebagai magnet. Musik Dhani hadir untuk
menyampaikan kritik, memberi alternatif dan menghadirkan pertanyaan pada
pandangan mayor. Lagu-lagu dengan sekian tema terus lahir agar manusia
Indonesia tak lupa dengan persoalan. Lagu Dewa 19 terkadang memberi tamparan
namun sesekali menebarkan kasih sayang.
Manajemen Republik Cinta memberi
peluang bagi sekian band dan musisi untuk mencatatkan diri sebagai bab dalam
buku besar sejarah musik Indonesia. Sekian band dikelola dengan improvisasi untuk
memberi keyakinan pada publik bahwa musik Indonesia masih layak memberi
kesaksian tentang perjalanan nilai humanisme di negeri ini. Band dan musisi
saling memberi peluang hadirnya kebebasan kreatif: ‘Andra and The Back Bone’,
‘The Rock’, ‘Maha Dewi’, ’The Virgin band’, ’The Lucky Laki’, ‘Once’, dan
’Mulan Jameela’.
Dhani
memberi kelonggaran pada punggawa Dewa 19 untuk melakukan improvisasi kreatif
dengan membentuk band-band lewat sekian lagu beken. Riwayat Ari Lasso juga tak luput dari sentuhan imaji
dan kreatifitas bermusik Dewa 19.
Kisah cinta Ahmad Dhani terus
menjadi kabar di berbagai media untuk menyapa publik. Berita hubungan
Dhani-Maia menyeret sensasi ketika hadir di medan infotainment. Kisah ini tak
berakhir menjadi picisan. Hubungan asmara yang retak ini jadi komodifikasi
infotainment. Namun, Dhani tak jadi obyek dalam narasi sensasional. Kisah ini
memberi peluang ragam tafsir dengan resiko kepenatan publik.
Komodifikasi konflik
Biografi Dhani memberi peluang
pembahasan tentang pembentukan identitas. Narasi dan kiprah Dhani dalam
bermusik, mengelola grup band maupun sebagai pribadi, terus menempati bidikan
utama dalam ruang info media. Dhani menafsirkan dan ditafsirkan. Sebagai
pribadi, Dhani ditafsirkan dengan seperangkat isu yang menempel pada dirinya.
Relasi pelik namun menggelitik antara diri, istri dan anak-anak jadi
komodifikasi.
Kisah perlawanan semiotik yang
dilancarkan di atas panggung maupun dalam keseharian memberi kabar tentang
model pengelolaan tanda. Dhani seolah piawai memainkan tanda dengan merancang
isu dan menempatkan pada konteks tepat. Produksi tanda dan komerialisasi ide
ini jadi pintu Dhani untuk menyapa publik. Kapitalisasi konflik dipakai sebagai
senjata ampuh untuk mendongkrak citra dengan sensasi dan adegan genit. Kisah heboh
dan konflik selalu hadir menemani produksi ide melalui Dewa 19 dan band-band
Republik Cinta.
Pada pertengahan 2005, Dhani
pernah mendapat serangan dan hujatan dari FPI ketika menempatkan logo album.
Logo ini ditafsirkan sebagai representasi kaligrafi yang menyebut asma Tuhan
(Allah). Logo mirip kaligrafi ini ditempatkan di altar konser. Konflik ini
bahkan masuk ke ranah hukum, menyeret pro-kontra dari pegiat hukum, musik,
media dan elite politik. Namun, kemenangan sebenarnya menjadi milik Dhani.
Penjualan album musiknya meroket dengan bantuan iklan gratis di sekitar
konflik.
Kisah komunikasi Dhani dengan
punggawa juga jadi kabar untuk memproduksi tanda yang berperan sebagai iklan
gratis. Pemecatan awak band sering jadi iklan dan santapan hangat infotainment.
Dhani terus melaju dan konflik berlalu. Narasi hubungan keluarga juga memberi
ruang dalam produksi tanda dan permainan citra. Kisah Dhani-Maia jadi sensasi
yang hadir dengan hujatan dan penghormatan. Namun, tak seperti kisah artis
lain, pengelolaan konflik ini malah jadi komodifikasi yang menguntungkan. Dhani
dan Maia berkompetisi untuk menciptakan lagu yang saling menyindir. Lagu ”Madu
3” jadi akumulasi agar kedua subyek saling menyapa: konflik sebagai permainan
dan humor. Konflik jadi medan kontestasi yang memberi ruang pencapaian
kreatifitas.
Perlawanan semiotik
Kreatifitas bermusik dan
memproduksi tanda beriringan dalam biografi seni Ahmad Dhani. Jejak sufistik
hadir dalam musik garapannya. Lagu-lagu populer namun tak picisan terus menyapa
penggemar musik tanah air. Sementara, permainan semiotik dihadirkan untuk
menciptakan karakter lewat berbagai ikon: mode rambut dan pakaian. Busana yang
dikenakan Dhani memberi ketegasan untuk menyampaiakan pesan. Kaos, baju, celana
maupun jaket sering jadi tren yang menyihir penggemar. Pakaian jadi simbol
untuk merepresentasikan gagasan genuine. Logo dan pakaian saling
menguatkan pesan yang memberi peneguhan eksistensi.
Kajian busana memberi tafsir
untuk menangkap pesan melalui produksi tanda. Roland Barthes dalam Fashion
System (1983) mencoba membedakan tiga tipe busana, yakni (1) image
clothing: busana yang ditampilkan sebagai fotografi atau gambar; (2) written
clothing: busana yang dideskripsikan secara tertulis atau ditransformasikan
ke dalam bahasa, (3) real clothing: busana aktual yang dapat dikenakan
pada tubuh manusia, busana sebagai obyek.
Pakaian memberi tafsir imajiner
dan membentuk identitas. Kris Budiman (2004: 95) menganggap politik identitas
melalui pakaian memainkan peran penting. Menurutnya, ”busana dan pakaian
memainkan peran yang tidak kalah signifikan dalam gerak sejarah, di dalam
dinamika perubahan masyarakat dan kebudayaan, di dalam proses-proses sosial dan
politik”.
Produksi tanda melalui busana
yang diperagakan Ahmad Dhani tak sekedar sensasi. Strategi semiotik ini sering
gagal dimainkan oleh artis dan musisi lain. Namun, dalam imajinasi Ahmad Dhani,
subtansi musik dan tanda melalui pakain hadir berkelindan.
Identitas seni
Visi kesenian Ahmad Dhani memberi
pertanyaan dan pernyataan tentang identitas. Sebagai subyek, Ahmad Dhani
membentuk identitas lewat perangkat semiotik, kreatifitas musik dan
komodifikasi konflik. Obyek seni sebagai tanda dapat
dibaca dalam kerangka pikir budaya. Yasraf Amir Piliang (2003: 222-223)
menganggap bahwa, ”obyek seni adalah komponen dari kebudayaan benda (material
culture). Obyek seni dapat dikaji sebagai unit kebudayaan. Dengan demikian,
ia berfungsi sebagai tanda, yang mempunyai referensi pada fenomena kultural”.
Pesan musik Dhani sering memberi kritik dan alternatif dengan jejak kultural
yang tak lekang.
Lagu ”Cintaku Tertinggal di
Malaysia” sepertinya ingin memberi pertanyaan tentang relasi Indonesia dengan
negeri jiran. Lagu ”Laskar Cinta” terus diingat
untuk menyampaikan kesaksian dan harapan tentang hadirnya kedamaian di negeri
yang sering dihujani teror, bom dan konflik elite politik. Lagu-lagu lain juga
memberi kesaksian dan pesan kontekstual.
Biografi Ahmad Dhani memberi
kesaksian perlawanan semiotik dan komodifikasi konflik di panggung musik tanah
air. Perlawanan semiotik ini ingin menghadirkan pertanyaan agar publik musik
tak absen dari imajinasi kreatif.
*Munawir Aziz,
Esais dan peziarah.
Esai ini
dimuat di Bianglala, Suara Merdeka Minggu, 8 November 2009.
Tidak ada komentar: