Omah Kendeng dan Silang Budaya Kaum Samin
Oleh: Munawir
Aziz*
Warga Samin memberi pesan kedamaian lewat perayaan
seni dan dialog kebudayaan. Agenda yang diselenggarakan Omah Kendeng, di
Baturejo, Sukolilo, Pati pada 2 Oktober 2009 lalu, mendedahkan makna untuk
merajut kembali solidaritas kemanusiaan. Nilai-nilai humanisme bangsa ini yang
telah tercabik oleh teror, transaksi kepemimpinan, relasi material elite
politik dan ”dagang sapi” di pelbagai titik kepentingan. Wajah kemanusiaan dan
simbol integrasi warga di negeri ini terus dipertanyakan ulang oleh goncangan
peristiwa tragis. Bencana jadi tanda dan tanya untuk keberlangsungan kehidupan
warga Indonesia.
Kondisi tragis yang berserakan inilah yang menjadi
lambaran ide bagi komunitas Samin untuk menggelar agenda silaturahmi
multikultur. Acara pertemuan ratusan warga dari berbagai komunitas, agama,
etnis, dan tradisi ini membawa pesan untuk terus menggalang solidaritas dalam
bingkai kemanusiaan.
Agenda ini diwarnai petikan syair Sampak Gus Uran
& Anis Soleh Ba’asyin, sajak Sosiawan Leak, suluk Ki Dalang Slamet
Gundono dan orasi peneliti Desantara serta beberapa tokoh seni lain. Beberapa
seniman saling bergantian untuk memberikan sentuhan lewat pesan kedamaian,
menyajikan puisi, melontarkan kritik sosial dan menampar krisis lewat humor.
Ya, kritik terhadap sengkarut wajah kemanusiaan dan gugatan kepada
otoritarianisme disampaikan lewat ”dagelan” yang segar dan jenaka.
Agenda ini menjadi arus pertemuan gelisah dan
pertanyaan yang terus menghantui komunitas Samin dan warga Sukolilo.
Kegelisahan muncul dari ancaman kerusakan lingkungan di Sukolilo dan sekitar.
Pegunungan Kendeng sebagai lumbung air, habibat flora-fauna, dan titik
aktifitas pertanian warga menjadi incaran pembangunan industri. Bahkan selama
ini, pegunungan Kendeng dianggap sebagai simbol titik kekuatan, keberlangsungan
tradisi dan oase kehidupan bagi warga Sukolilo. Warga Samin menganggap
pegunungan Kendeng sebagai tanda bagi keberlangungan tradisi pertanian yang
jadi simpul kemandirian pangan. Pesan dari sesepuh kaum Samin tentang kearifan
ekologis terus dipertahankan sebagai visi dan landasan aktifitas.
Pertemuan pelbagai komunitas yang diprakarsai
komunitas Samin menjadi titik dialog dan oase untuk mengaktualkan kearifan
ekologis, nilai humanis dan pesan kedamaian.
Kearifan ruang
Pertemuan pelbagai arus kultur penting untuk terus
mengkampanyekan solidaritas kemanusiaan dan kebangsaan yang tergerus
materialisme. Logika material mengancam visi ideal di pelbagai
lini kehidupan. Kepentingan komunal dibayangi transaksi egoisme individual
untuk meraup kenikmatan jangka pendek. Hajat
hidup masyarakat luas digadaikan untuk mensuplai kehausan segelintir elite.
Kondisi tragis inilah yang ingin digugat oleh agenda kebudayaan yang
diprakarsai komunitas Samin.
Warga Samin dapat hidup berdampingan secara damai
di tengah masyarakat multikultur. Biografi masyarakat Sukolilo ditopang oleh
kedamaian hidup pelbagai arus budaya, keyakinan dan hasrat politik. Keragaman tradisi dan agama bukan halangan untuk menyajikan kehidupan damai
dan memberi pesan etik lintas generasi.
Agenda silaturahmi budaya sebagai arus pertemuan
bermacam tradisi, diselenggarakan di ruang bersama yang dinamai ”Omah Kendeng”.
Ruang ini berupa bangunan yang didirikan dengan solidaritas, pesan moral dan
kearifan ekologis. Omah Kendeng yang menancap di lereng pegunungan Kendeng, serupa
joglo rumah adat Jawa yang dirancang tak berpintu. Konstruksi Omah Kendeng tak
menggunakan semen sebagai lapisan perekat, namun memakai teknologi tradisional
perekat bangunan dari bahan alami. Teknologi perekat alami ini juga dipakai di
beberapa situs kuno, semisal Menara Kudus, beberapa Candi dan bangunan lain.
Omah Kendeng lahir sebagai ruang silang budaya yang
mempertemukan berbagai arus tradisi. Warga bebas hadir untuk membangunan
komunikasi dan memupuk jejaring sosial. Omah Kendeng sebagai oase budaya bagi
warga sekitar yang membutuhkan ruang sosialisasi intensif. Ruang ini
membebaskan manusia datang dan pergi dengan dalih melanggengkan ikatan sosial
dan komunikasi egaliter. Omah Kendeng menihilkan stratifikasi, batas sosial dan
label ekonomi yang selama ini menjadi sekat komunikasi dan jejaring sosial
antar warga. Sebagai ruang budaya, Omah Kendeng mencairkan kebekuan etnisitas
dan melampaui relasi sosilogis serta antropologis.
Di Omah Kendeng, warga hadir dan bercengkrama
sebagai subyek merdeka, tak ada diskriminasi sebagai ”liyan” (the other).
Omah Kendeng menjadi ruang yang mengukuhkan subyek dengan identitas
masing-masing tanpa saling mengerkah. Anggapan stereotype yang
menghadirkan liyan—yang oleh Frances Gouda (1995) sebagai pertarungan
kepentingan akademis dan politis—meluruh di Omah Kendeng. Kebekuan identitas
ini mencair di tengah arus relasi sosial dan komunikasi egaliter.
Pesan damai
Omah Kendeng sebagai ruang silang budaya
menghadirkan nilai-nilai kearifan lingkungan. Ruang budaya ini terus memberi
pertanyaan atas fungsi moral yang dibekuan oleh godaan material. Kerusakan
lingkungan hadir karena rapuhnya landasan etika kemanusiaan dan gempuran kuasa
material. Runtuhnya falsafah hidup berdampingan dengan alam menjadi pembuka
krisis ekologis yang menyedihkan. Padahal, tata lingkungan seharusnya terangkai
harmonis dengan kearifan alam. MT Zen (1979), menyatakan bahwa kelestarian tata
lingkungan harus berdasarkan suatu tata nilai, yakni tata nilai daripada tata
lingkungan dengan berfilsafat secara damai dengan alam lingkungan.
Silaturahmi lintas tradisi di Omah Kendeng memberi
pesan dan nilai kemanusiaan untuk hidup berdampingan dengan alam. Jejak
kearifan lingkungan dibingkai dengan kritik atas egoisme elite politik, relasi
material yang mengubur visi ideal dan krisis moral.
Agenda pertemuan lintas etnis yang diprakarsai
warga Samin menghadirkan nilai-nilai humaniora sebagai landasan kearifan.
Kuntowijoyo (2006) mengungkapkan, pendidikan humaniora yang mengajarkan
nilai-nilai kemanusiaan dan pernyataan-pernyataan simbolisnya merupakan bagian
integral dari sistem budaya. Nilai kemanusiaan dan kearifan lingkungan hadir
sebagai spirit warga untuk membendung kerusakan alam. Omah Kendeng sebagai ruang
silang budaya menghadirkan pesan multikultur sebagai tanda solidaritas
kemanusiaan yang terus dirawat. Agenda pertemuan budaya yang diprakarsai warga
Samin menghadirkan tanya, sejauh mana visi kemanusiaan kita di tengah keragaman
etnis dan hidup berdamai dengan alam?
Munawir Aziz, Esais dan Peneliti.
Esai ini dimuat di Forum Kompas, 28 Oktober, 2009.
Tidak ada komentar: