Omah Kendeng dan Silang Budaya Kaum Samin

00.42
Oleh: Munawir Aziz*


Warga Samin memberi pesan kedamaian lewat perayaan seni dan dialog kebudayaan. Agenda yang diselenggarakan Omah Kendeng, di Baturejo, Sukolilo, Pati pada 2 Oktober 2009 lalu, mendedahkan makna untuk merajut kembali solidaritas kemanusiaan. Nilai-nilai humanisme bangsa ini yang telah tercabik oleh teror, transaksi kepemimpinan, relasi material elite politik dan ”dagang sapi” di pelbagai titik kepentingan. Wajah kemanusiaan dan simbol integrasi warga di negeri ini terus dipertanyakan ulang oleh goncangan peristiwa tragis. Bencana jadi tanda dan tanya untuk keberlangsungan kehidupan warga Indonesia.
Kondisi tragis yang berserakan inilah yang menjadi lambaran ide bagi komunitas Samin untuk menggelar agenda silaturahmi multikultur. Acara pertemuan ratusan warga dari berbagai komunitas, agama, etnis, dan tradisi ini membawa pesan untuk terus menggalang solidaritas dalam bingkai kemanusiaan.
Agenda ini diwarnai petikan syair Sampak Gus Uran & Anis Soleh Ba’asyin, sajak Sosiawan Leak, suluk Ki Dalang Slamet Gundono dan orasi peneliti Desantara serta beberapa tokoh seni lain. Beberapa seniman saling bergantian untuk memberikan sentuhan lewat pesan kedamaian, menyajikan puisi, melontarkan kritik sosial dan menampar krisis lewat humor. Ya, kritik terhadap sengkarut wajah kemanusiaan dan gugatan kepada otoritarianisme disampaikan lewat ”dagelan” yang segar dan jenaka.
Agenda ini menjadi arus pertemuan gelisah dan pertanyaan yang terus menghantui komunitas Samin dan warga Sukolilo. Kegelisahan muncul dari ancaman kerusakan lingkungan di Sukolilo dan sekitar. Pegunungan Kendeng sebagai lumbung air, habibat flora-fauna, dan titik aktifitas pertanian warga menjadi incaran pembangunan industri. Bahkan selama ini, pegunungan Kendeng dianggap sebagai simbol titik kekuatan, keberlangsungan tradisi dan oase kehidupan bagi warga Sukolilo. Warga Samin menganggap pegunungan Kendeng sebagai tanda bagi keberlangungan tradisi pertanian yang jadi simpul kemandirian pangan. Pesan dari sesepuh kaum Samin tentang kearifan ekologis terus dipertahankan sebagai visi dan landasan aktifitas.
Pertemuan pelbagai komunitas yang diprakarsai komunitas Samin menjadi titik dialog dan oase untuk mengaktualkan kearifan ekologis, nilai humanis dan pesan kedamaian.
 
Kearifan ruang
Pertemuan pelbagai arus kultur penting untuk terus mengkampanyekan solidaritas kemanusiaan dan kebangsaan yang tergerus materialisme. Logika material mengancam visi ideal di pelbagai lini kehidupan. Kepentingan komunal dibayangi transaksi egoisme individual untuk meraup kenikmatan jangka pendek. Hajat hidup masyarakat luas digadaikan untuk mensuplai kehausan segelintir elite. Kondisi tragis inilah yang ingin digugat oleh agenda kebudayaan yang diprakarsai komunitas Samin.
Warga Samin dapat hidup berdampingan secara damai di tengah masyarakat multikultur. Biografi masyarakat Sukolilo ditopang oleh kedamaian hidup pelbagai arus budaya, keyakinan dan hasrat politik. Keragaman tradisi dan agama bukan halangan untuk menyajikan kehidupan damai dan memberi pesan etik lintas generasi.


Agenda silaturahmi budaya sebagai arus pertemuan bermacam tradisi, diselenggarakan di ruang bersama yang dinamai ”Omah Kendeng”. Ruang ini berupa bangunan yang didirikan dengan solidaritas, pesan moral dan kearifan ekologis. Omah Kendeng yang menancap di lereng pegunungan Kendeng, serupa joglo rumah adat Jawa yang dirancang tak berpintu. Konstruksi Omah Kendeng tak menggunakan semen sebagai lapisan perekat, namun memakai teknologi tradisional perekat bangunan dari bahan alami. Teknologi perekat alami ini juga dipakai di beberapa situs kuno, semisal Menara Kudus, beberapa Candi dan bangunan lain.
Omah Kendeng lahir sebagai ruang silang budaya yang mempertemukan berbagai arus tradisi. Warga bebas hadir untuk membangunan komunikasi dan memupuk jejaring sosial. Omah Kendeng sebagai oase budaya bagi warga sekitar yang membutuhkan ruang sosialisasi intensif. Ruang ini membebaskan manusia datang dan pergi dengan dalih melanggengkan ikatan sosial dan komunikasi egaliter. Omah Kendeng menihilkan stratifikasi, batas sosial dan label ekonomi yang selama ini menjadi sekat komunikasi dan jejaring sosial antar warga. Sebagai ruang budaya, Omah Kendeng mencairkan kebekuan etnisitas dan melampaui relasi sosilogis serta antropologis.
Di Omah Kendeng, warga hadir dan bercengkrama sebagai subyek merdeka, tak ada diskriminasi sebagai ”liyan” (the other). Omah Kendeng menjadi ruang yang mengukuhkan subyek dengan identitas masing-masing tanpa saling mengerkah. Anggapan stereotype yang menghadirkan liyan—yang oleh Frances Gouda (1995) sebagai pertarungan kepentingan akademis dan politis—meluruh di Omah Kendeng. Kebekuan identitas ini mencair di tengah arus relasi sosial dan komunikasi egaliter.
Pesan damai
Omah Kendeng sebagai ruang silang budaya menghadirkan nilai-nilai kearifan lingkungan. Ruang budaya ini terus memberi pertanyaan atas fungsi moral yang dibekuan oleh godaan material. Kerusakan lingkungan hadir karena rapuhnya landasan etika kemanusiaan dan gempuran kuasa material. Runtuhnya falsafah hidup berdampingan dengan alam menjadi pembuka krisis ekologis yang menyedihkan. Padahal, tata lingkungan seharusnya terangkai harmonis dengan kearifan alam. MT Zen (1979), menyatakan bahwa kelestarian tata lingkungan harus berdasarkan suatu tata nilai, yakni tata nilai daripada tata lingkungan dengan berfilsafat secara damai dengan alam lingkungan.
Silaturahmi lintas tradisi di Omah Kendeng memberi pesan dan nilai kemanusiaan untuk hidup berdampingan dengan alam. Jejak kearifan lingkungan dibingkai dengan kritik atas egoisme elite politik, relasi material yang mengubur visi ideal dan krisis moral.
Agenda pertemuan lintas etnis yang diprakarsai warga Samin menghadirkan nilai-nilai humaniora sebagai landasan kearifan. Kuntowijoyo (2006) mengungkapkan, pendidikan humaniora yang mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan dan pernyataan-pernyataan simbolisnya merupakan bagian integral dari sistem budaya. Nilai kemanusiaan dan kearifan lingkungan hadir sebagai spirit warga untuk membendung kerusakan alam. Omah Kendeng sebagai ruang silang budaya menghadirkan pesan multikultur sebagai tanda solidaritas kemanusiaan yang terus dirawat. Agenda pertemuan budaya yang diprakarsai warga Samin menghadirkan tanya, sejauh mana visi kemanusiaan kita di tengah keragaman etnis dan hidup berdamai dengan alam?

Munawir Aziz, Esais dan Peneliti.
Esai ini dimuat di Forum Kompas, 28 Oktober, 2009.


Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.