Perempuan dalam Episode Cicak-Buaya
Perempuan dalam Episode Cicak-Buaya
Oleh : Munawir Aziz*
Jejak perempuan menapak di lingkaran elite, konflik
politik dan perselingkuhan kuasa. Perempuan jadi pengatur ritme dan tumbal
dalam beberapa skandal yang melibatkan elite politik. Kali ini, nama perempuan juga jadi kunci dalam perseturuan ”Cicak-Buaya”. Dalam drama konflik antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri,
ada seorang disebut-sebut punya peran sentral. Penahanan Wakil Ketua KPK (non
aktif) Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah jadi isu penting dalam lingkaran
politik-hukum negeri ini.
Penahanan Bibit-Hamzah sejak Kamis (29/10) oleh
Polri menjadi titik balik gerakan antikorupsi di Indonesia. Penahanan ini
dilakukan selepas beredarnya rekaman dan transkip mengenai proses hukum yang
terkait tindak korupsi, yang melibatkan beberapa tokoh penting. Bahkan, nama
presiden Yudhoyono juga dicatut dalam rekaman ini. Di transkip rekaman yang
beredar, tampak perempuan yang masih samar identitasnya, punya peran penting
yang seolah bisa mengatur ritme hukum Indonesia.
Konflik KPK-Polri memang menjadi isu hangat yang
diekspos berbagai media, menjadi topik perbincangan dan masuk sebagai tantangan
pemerintahan SBY-Boediono. Sebelumnya, Polri menganggap Bibit-Hamzah melakukan
pemerasan. Namun, belakangan tuduhan terhadap wakil ketua KPK (non aktif) ini
bergeser menjadi penyalahgunaan wewenang. Puluhan tokoh politik, hukum, dan
negarawan ramai-ramai mendukung KPK agar terus eksis menghadapi tekanan Polri.
Istilah pertarungan ’Cicak’ melawan ’Buaya’ ramai dalam perbincangan media,
portal komunikasi maupun diskusi kampus.
Titik strategis
Di beberapa kisah konflik elite politik, perempuan
selalu hadir sebagai subyek dan obyek. Selain pada episode KPK-Polri, beberapa
kisah perselingkuhan politik negeri ini juga melibatkan perempuan di titik
sentral. Kisah tersangka BLBI, Artalyta Suryani jadi pembuka kisah perempuan
dalam ruang politik negeri ini. Drama hukum Antasari Azhar-Nasrudin Zulkarnaen,
menghadirkan perempuan: Rani Juliani. Caddy golf di Padang Golf,
Tangerang ini memiliki peran penting dalam kisah cinta-politis antara Antasari
Azhari dan Nasrudin Zulkarnaen.
Selain Antasari, beberapa anggota DPR dan kepala
daerah juga terlibat berbagai kasus perselingkuhan. Catatan tentang
perselingkuhan beberapa anggota dewan ini masih mengendap dalam ingatan warga
Indonesia. Seksualitas dan politik saling berkelindan untuk melegitimasi kuasa
maupun menghancurkan stigma.
Sebagai subyek, perempuan hadir untuk memberi
gugatan dan pertanyaan terhadap dominasi politik. Sedangkan, sebagai obyek,
perempuan sengaja dihadirkan agar elite politik tergoda. Perempuan jadi senjata
ampuh untuk melakukan dekonstruksi kuasa dan deligitimasi citra elite politik.
Dalam kisah politik negarawan, Presiden Bill
Clinton pernah mengalami skandal yang melibatkan perempuan seksi. Skandal Bill
Clinton jadi santapan media internasional untuk menggoyang kuasa di Withe
House. Bill Clinton terjebak delegitimasi kuasa dalam opini publik Amerika.
Perempuan selalu menyimpan kisah dalam ruang konflik dan skandal politik elite
kuasa.
Ruang kuasa
Ruang kuasa membuka celah untuk mendekonstruksi
diri, kekuasaan merupakan bab yang tak pernah selesai dibaca berulang. Politik
menjadi ruang ulang-alik untuk menentukan gerak, merancang strategi dan
melecutkan kompetisi untuk menata struktur kehidupan dan ruang publik. Ruang
politik mempunyai wajah hasrat dan usaha untuk menampilkan kepentingan dalam
bungkus yang menawan.
Seksualitas merupakan jebakan bagi tokoh politik,
intelektual maupun agamawan. Subyek-subyek yang merdeka dengan kedudukan tinggi
di ruang kekuasaan, dengan mudahnya dapat turun kasta akibat tak bisa melakukan
manajemen asmara. Mereka terjebak oleh godaan dan berbagai rayuan, sehingga
menjadi kasus menggemparkan.
Jalinan kekuasaan dengan seksualitas seolah tak
pernah berhenti. Kedua ruang ini, saling berkelindan dengan tema dan
ruang-waktu yang terus berganti. Tokoh-tokoh politik menjadi sasaran empuk
kasus perselingkuhan, pernikahan siri dan hubungan asmara lain. Hasrat untuk
menikmati tubuh, merupakan isu serius di ruang kekuasan.
Seksualitas dan ruang kekuasaan selalu menghadirkan
tafsir formal. Michel Foucault memandang, kekuasaan juga memandang seks di
bawah sistem biner; halal-haram, boleh dan terlarang. Kekuasaan berbicara,
menjadi aturan. Bentuk murni dari kekuasaan dijumpai dalam fungsi pembuat
undang-undang; dan caranya bertindak terhadap seks adalah cara
yuridis-kewacanaan.
Dalam La Volonte de Savoir: Historie de la
Sexualite (Ingin Tahu Sejarah Seksualitas: 2008), Foucault mengungkapkan
bahwa, ”seks dan kekuasaan menjalin hubungan negatif, berupa penyingkiran,
larangan dan usaha untuk terus mengutuk menjadi hal tabu. Kekuasaan tidak dapat
berbuat apapun pada seks dan kenikmatan kecuali berkata tidak; meskipun
mengungkap, yang muncul hanya ketakhadiran dan absensi”.
Kompetisi kuasa menghadirkan perempuan sebagai
senjata untuk merusak citra politik tokoh publik. Perempuan sebagai penggoda
untuk menghancurkan image pemimpin. Namun, ironisnya, arus wacana yang bergulir
menempatkan perempuan sebagai ”penggoda”.
Perempuan: subyek dan obyek
Padahal, pada kasus seksualitas di ruang politik,
perempuan menjadi korban yang sesungguhnya. Perempuan di ruang privat, sebagai
istri dan keluarga, terjebak dalam tragedi. Sedangkan, perempuan sebagai
penggoda, akhirnya juga sebagai korban, karena terlecehkan di ruang publik.
Image perempuan dengan nadastereotype seolah dilanggengkan.
Kualitas diri dikesampingkan, ketika kepentingan
politik bersuara. Kualitas diri dan situasi menjadi hal yang tak penting.
Fungsi politik mereduksi fungsi moral dan etika. Seharusnya, kualitas diri
menjadi elemen untuk mengukur kualitas kepemimpinan. Joseph Fletcher
(1905-1991) mengungkapkan konsep tentang ”etika situasi”. Menurut Fletcher,
etika situasi menjunjung tinggi otonomi moral individu dan menolak ketaatan
begitu saja, terhadap suatu hukum moral sebagai heteronomi. Tidak ada perbuatan
yang pada dirinya, baik atau jahat, semuanya bergantung pada situasi.
Dengan demikian, kualitas diri yang linier dengan
etika dan moralitas, akan menentukan posisi diri di tengah situasi
keterasingan. Ketika kasus seksualitas bersanding dengan kepentingan politis,
kualitas diri patut menjadi ukuran untuk menerawang tokoh publik. Perempuan
tidak selalu menjadi ”penggoda” dengan image negatif, justru seringkali ia
menjadi korban yang sesungguhnya. Kisah perempuan di ruang kuasa menghadirkan
tanya; bagaimana sesungguhnya identitas perempuan dalam perselingkuhan elite,
sebagai subyek atau obyek?
*Munawir Aziz, Esais dan Peneliti,
lahir di Pati.
Esai ini dimuat di Suara
Merdeka, 04 November 2009.
Tidak ada komentar: