Perempuan dalam Episode Cicak-Buaya

00.50
Perempuan dalam Episode Cicak-Buaya
Oleh : Munawir Aziz*


Jejak perempuan menapak di lingkaran elite, konflik politik dan perselingkuhan kuasa. Perempuan jadi pengatur ritme dan tumbal dalam beberapa skandal yang melibatkan elite politik. Kali ini, nama perempuan juga jadi kunci dalam perseturuan ”Cicak-Buaya”. Dalam drama konflik antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri, ada seorang disebut-sebut punya peran sentral. Penahanan Wakil Ketua KPK (non aktif) Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah jadi isu penting dalam lingkaran politik-hukum negeri ini.
Penahanan Bibit-Hamzah sejak Kamis (29/10) oleh Polri menjadi titik balik gerakan antikorupsi di Indonesia. Penahanan ini dilakukan selepas beredarnya rekaman dan transkip mengenai proses hukum yang terkait tindak korupsi, yang melibatkan beberapa tokoh penting. Bahkan, nama presiden Yudhoyono juga dicatut dalam rekaman ini. Di transkip rekaman yang beredar, tampak perempuan yang masih samar identitasnya, punya peran penting yang seolah bisa mengatur ritme hukum Indonesia.
Konflik KPK-Polri memang menjadi isu hangat yang diekspos berbagai media, menjadi topik perbincangan dan masuk sebagai tantangan pemerintahan SBY-Boediono. Sebelumnya, Polri menganggap Bibit-Hamzah melakukan pemerasan. Namun, belakangan tuduhan terhadap wakil ketua KPK (non aktif) ini bergeser menjadi penyalahgunaan wewenang. Puluhan tokoh politik, hukum, dan negarawan ramai-ramai mendukung KPK agar terus eksis menghadapi tekanan Polri. Istilah pertarungan ’Cicak’ melawan ’Buaya’ ramai dalam perbincangan media, portal komunikasi maupun diskusi kampus.
Titik strategis
Di beberapa kisah konflik elite politik, perempuan selalu hadir sebagai subyek dan obyek. Selain pada episode KPK-Polri, beberapa kisah perselingkuhan politik negeri ini juga melibatkan perempuan di titik sentral. Kisah tersangka BLBI, Artalyta Suryani jadi pembuka kisah perempuan dalam ruang politik negeri ini. Drama hukum Antasari Azhar-Nasrudin Zulkarnaen, menghadirkan perempuan: Rani Juliani. Caddy golf di Padang Golf, Tangerang ini memiliki peran penting dalam kisah cinta-politis antara Antasari Azhari dan Nasrudin Zulkarnaen.
Selain Antasari, beberapa anggota DPR dan kepala daerah juga terlibat berbagai kasus perselingkuhan. Catatan tentang perselingkuhan beberapa anggota dewan ini masih mengendap dalam ingatan warga Indonesia. Seksualitas dan politik saling berkelindan untuk melegitimasi kuasa maupun menghancurkan stigma.
Sebagai subyek, perempuan hadir untuk memberi gugatan dan pertanyaan terhadap dominasi politik. Sedangkan, sebagai obyek, perempuan sengaja dihadirkan agar elite politik tergoda. Perempuan jadi senjata ampuh untuk melakukan dekonstruksi kuasa dan deligitimasi citra elite politik.

Dalam kisah politik negarawan, Presiden Bill Clinton pernah mengalami skandal yang melibatkan perempuan seksi. Skandal Bill Clinton jadi santapan media internasional untuk menggoyang kuasa di Withe House. Bill Clinton terjebak delegitimasi kuasa dalam opini publik Amerika. Perempuan selalu menyimpan kisah dalam ruang konflik dan skandal politik elite kuasa.
Ruang kuasa
Ruang kuasa membuka celah untuk mendekonstruksi diri, kekuasaan merupakan bab yang tak pernah selesai dibaca berulang. Politik menjadi ruang ulang-alik untuk menentukan gerak, merancang strategi dan melecutkan kompetisi untuk menata struktur kehidupan dan ruang publik. Ruang politik mempunyai wajah hasrat dan usaha untuk menampilkan kepentingan dalam bungkus yang menawan.
Seksualitas merupakan jebakan bagi tokoh politik, intelektual maupun agamawan. Subyek-subyek yang merdeka dengan kedudukan tinggi di ruang kekuasaan, dengan mudahnya dapat turun kasta akibat tak bisa melakukan manajemen asmara. Mereka terjebak oleh godaan dan berbagai rayuan, sehingga menjadi kasus menggemparkan.
Jalinan kekuasaan dengan seksualitas seolah tak pernah berhenti. Kedua ruang ini, saling berkelindan dengan tema dan ruang-waktu yang terus berganti. Tokoh-tokoh politik menjadi sasaran empuk kasus perselingkuhan, pernikahan siri dan hubungan asmara lain. Hasrat untuk menikmati tubuh, merupakan isu serius di ruang kekuasan.
Seksualitas dan ruang kekuasaan selalu menghadirkan tafsir formal. Michel Foucault memandang, kekuasaan juga memandang seks di bawah sistem biner; halal-haram, boleh dan terlarang. Kekuasaan berbicara, menjadi aturan. Bentuk murni dari kekuasaan dijumpai dalam fungsi pembuat undang-undang; dan caranya bertindak terhadap seks adalah cara yuridis-kewacanaan.
Dalam La Volonte de Savoir: Historie de la Sexualite (Ingin Tahu Sejarah Seksualitas: 2008), Foucault mengungkapkan bahwa, ”seks dan kekuasaan menjalin hubungan negatif, berupa penyingkiran, larangan dan usaha untuk terus mengutuk menjadi hal tabu. Kekuasaan tidak dapat berbuat apapun pada seks dan kenikmatan kecuali berkata tidak; meskipun mengungkap, yang muncul hanya ketakhadiran dan absensi”.
Kompetisi kuasa menghadirkan perempuan sebagai senjata untuk merusak citra politik tokoh publik. Perempuan sebagai penggoda untuk menghancurkan image pemimpin. Namun, ironisnya, arus wacana yang bergulir menempatkan perempuan sebagai ”penggoda”.
Perempuan: subyek dan obyek
Padahal, pada kasus seksualitas di ruang politik, perempuan menjadi korban yang sesungguhnya. Perempuan di ruang privat, sebagai istri dan keluarga, terjebak dalam tragedi. Sedangkan, perempuan sebagai penggoda, akhirnya juga sebagai korban, karena terlecehkan di ruang publik. Image perempuan dengan nadastereotype seolah dilanggengkan.
Kualitas diri dikesampingkan, ketika kepentingan politik bersuara. Kualitas diri dan situasi menjadi hal yang tak penting. Fungsi politik mereduksi fungsi moral dan etika. Seharusnya, kualitas diri menjadi elemen untuk mengukur kualitas kepemimpinan. Joseph Fletcher (1905-1991) mengungkapkan konsep tentang ”etika situasi”. Menurut Fletcher, etika situasi menjunjung tinggi otonomi moral individu dan menolak ketaatan begitu saja, terhadap suatu hukum moral sebagai heteronomi. Tidak ada perbuatan yang pada dirinya, baik atau jahat, semuanya bergantung pada situasi.
Dengan demikian, kualitas diri yang linier dengan etika dan moralitas, akan menentukan posisi diri di tengah situasi keterasingan. Ketika kasus seksualitas bersanding dengan kepentingan politis, kualitas diri patut menjadi ukuran untuk menerawang tokoh publik. Perempuan tidak selalu menjadi ”penggoda” dengan image negatif, justru seringkali ia menjadi korban yang sesungguhnya. Kisah perempuan di ruang kuasa menghadirkan tanya; bagaimana sesungguhnya identitas perempuan dalam perselingkuhan elite, sebagai subyek atau obyek?

*Munawir Aziz, Esais dan Peneliti, lahir di Pati.
Esai ini dimuat di Suara Merdeka, 04 November 2009.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.