Genealogi Korupsi dalam Sastra, Pramoedya Ananta Toer

09.28


Oleh : Munawir Aziz*


Sejarah korupsi dalam kehidupan masyarakat Indonesia berakar pada puluhan abad silam. Kisah tragik pemberontakan yang terjadi dalam sejarah masyarat Nusantara merupakan pintu awal untuk menganalisa genealogi korupsi yang mengurat nadi pada tubuh manusia Indonesia kini. Pemberontakan, penyelewengan kuasa, pembantaian dan pembungkaman terhadap kebenaran mewarnai kisah sejarah Nusantara. Kisah-kisah lokal yang berkelindan antara mitos dan realitas, pada masa kini memberi tawaran untuk menziarahi peristiwa masa silam. Dan, kisah-kisah tragik di sekitar kekuasaan sudah menjadi wajah dari kerajaan politik Nusantara, berpuluh abad lampau.
Kondisi politik Nusantara sudah sedemikian kokoh pada berabad silam, di tengah kehidupan masyarakat Eropa dan Amerika yang masih suram. Peradaban Nusantara juga membuktikan bahwa dasar politik warga Indonesia tidak kalah kuat dengan etika politik Eropa. Nilai-nilai moral, sistem pertahanan, dan kebudayaan lokal yang menjadi tradisi masyarakat Nusantara memberi stigma penting betapa kita seharusnya mampu berkompetisi di tengah percaturan politik internasional. Namun, kepercayaan diri yang hilang, kemunafikan penguasa akibat kolonialisme lebih dari 3,5 abad menjadikan manusia Indonesia lupa dengan identitasnya.



Namun, kekuatan pemerintaha dan kemajuan peradaban juga memberi peluang lahirnya sisi-sisi gelap dalam kultur politik masyarakat kita; pemberontakan, kolusi dan upeti terhadap penguasa. Pemberontakan sebagai wujud ketidak setujuan terhadap penguasa menegaskan wujud dinamika politik yang terus berlangsung, sekaligus kekokohan idealisme warga Nusantara. Sementara kolusi dan upeti merupakan wajah tragik dari pemerintahan yang lupa dengan asal-muasalnya; dari rakyat untuk rakyat.
Dan, kisah panjang kehidupan warga Nusantara sampai mewujud sebagai nation-state Indoensia terangkum dalam narasi sastra. Beberapa karya sastra bermutu dihasilkan dari pikiran waras, ingatan keindonesiaan dan ketekunan untuk menelisik yang silam serta menggurat yang menjelang. Karya Pramoedya Ananta Toer; Arok Dedes, Arus Balik, dan Mangir serta Tetralogi Pula Buru merupakan narasi panjang untuk menggali kekayaan peradaban sekaligus ironi dalam pemerintahan Nusantara.
Kisah Arok Dedes memberi lambaran imajinasi tentang sisi terang dan gelap kuasa Nusantara. Pramoedya mengisahkan bahwa; di kabupaten Singasari itu muncul seorang pemuda yang dianggap jagoan dan pintar merebut tempat di kalangan masyarakat kalangan atas. Ia bernama Ken Arok dan bekerja sebagai karyawan Tunggul Ametung. Tidak hanya itu, rupanya para pendeta, khususnya Lohgawe, terkesan sekali dengan kepribadian Ken Arok yang keras itu, sehingga ia dianggap sebagai reinkarnasi dewa. Setelah menyadari nasibnya tersebut, Ken Arok terdorong untuk meraih kedudukan lebih tinggi, dan ia berhasil membunuh Tunggul Ametung [...].
Tidak lama kemudian pecah pertengkaran di Kediri Raja Kertajaya dan para pendeta, baik Hindu maupun Budha. Raja menghendaki para pendeta agar memberi sembah kepadanya sebagai penjelmaan Batara Guru, bukan sebaliknya [.....] Para pendeta menolak. Atas prakarsa Lohgawe, mereka mendatangi Ken Arok, mengakuinya sebagai raja Tumapel Singasari dengan gelar Sri Rajasa. Denga gelar itulah ia berangkat bersama pasukannya menyerang Kediri, yang berhasil memporak porandakan kekuasaan Kertajaya. Raja Kediri itu pun melarikan diri, dan pada 1222 Ken Arok menahbiskan diri sebagai Raja diraja baru yang berkududukan di Tumapel.




Dalam Arok Dedes dapat disaksikan bagaimana ambisi rakyat kecil mampu mengalahkan kuasa Raja. Ini membuktikan bahwa potensi rakyat masih jauh lebih kuat dari pada kuasa raja. Refleksi atas potensi rakyat inilah yang sekarang ini seakan terkubur dalam lumpur sejarah. Namun, di sisi lain, Arok Dedes menggambarkan betapa kasus penyalahgunaan wewenang kekuasaan, kolusi dan korupsi merupakan bagian dari sejarah manusia Nusantara. Genealogi korupsi manusia Indonesia kini juga dapat dirujuk pada kisah gelap kuasa Tumapel.
Novel Arus Balik menjadi pembuktian Pramoedya akan pentingnya kesatuan Maritim dalam konsep geopolitik dan geokultural Nusantara. Pertahanan Nusantara yang tak bertumpu pada kekuatan militer maritim, dikacaukan oleh serangan kolonial dari “Negeri-negeri Atas Angin”. Portugal-Spanyol, dan selajutnya Belanda mengikis habis pertahanan Nusantara dari arah Timur hingga Pasai. Rezim kolonial Belanda yang mengakar di bumi Nusantara, turut mengokohkan sistem feodalisme dengan mendekati Raja dan pejabat pribumi untuk terlena dalam kekuasaan serta kekayaan, sementara rakyat kecil bersimbah darah menanggung derita.
Kisah Mangir merupakan bagian penting dalam sejarah kepengarangan Pramoedya. Ki Ageng Mangir menjadi simbol kekuatan rakyat yang dinodai oleh kedengkian kuasa Panembahan Senopati. Mangir akhirnya tewas dihantamkan ke Watu Gilang dalam skenario busuk penguasa; jenazahnya dipendam membujur di pagar kraton; dari pusat sampai kaki di dalam kraton sebagai representasi menantu yang diakui Raja, sedangkan dari pusat hingga kepala membujur di luar Kraton untuk mengesankan pemberontak.
Kisah Amangkurat dalam karya Bondan Nusantara juga menjadi referensi penting untuk melacak genealogi serta pola kuasa Nusantara, yang berisi kecerdasan politik serta kebusukan penguasa korup. Bondan Nusantara dalam Rembulan Ungu (2011) mengisahkan tentang kebangkrutan kerajaan Mataram di bawah kuasa Amangkurat. Putra Sultan Agung ini menggunakan kekuasaanya untuk memuncakkan nafsu pribadinya, membangun kerajaan dengan biaya hutang dari Kompeni, berpesta pora, meniduri perawan-perawan yang akan menikah, sementara rakyat kelaparan akibat beban upeti tinggi dan pertanian yang gagal.
Di samping itu, Amangkurat juga berkongsi dengan pejabat kolonial Belanda untuk mengukuhkan kuasanya, serta mengesampingkan aspirasi rakyat, penderitaan kaum miskin-papa, dan melupakan titah ayahandanya agar Mataram kembali bangkit. Namun, apa yang terjadi, Amangkurat tetap saja menutup telinga dan mengumbar nafsunya. Amangkurat juga tega menggantung pamannya dan bibinya yang dituduhnya merancang pemberontakan; Pangeran Pekik dan Nyai Ratu Pandan.
Hingga, pecah perang saudara di kerajaan Mataram untuk menggulingkan Amangkurat. Adipati Anom dan Pangeran Kajoran yang bermarkas di Bayat, dengan dibantu beberapa pendekar, Demang Bagelen, Panjalu, Sempana, Trunojoyo dari Pamekasan dan panglima militer Sultan Hasanuddin yang diburu VOC: Karang Galesong. Kisah-kisah dalam sejarah politik Nusantara menghadirkan simbol dan inspirasi untuk menyongsong masa depan Indonesia. Narasi Tetralogi Bumi Manusia garapan Pramoedya Anantar Toer menjadi referensi untuk memahami kondisi manusia Indonesia untuk merawat nasionalisme, lewat biografi naratif Minke, jelmaan imajinatif atas Tirto Adhi Soejo. Dari kisah kolonialisme di bumi nusantara akhir abad 19 dan abad 20 inilah, seharusnya warga Indonesia berkaca.
Narasi sastra menjadi jendela untuk memahami genealogi korupsi, sesuatu yang sampai kini masih menjadi problem mendasar dalam struktur politik warga Indonesia. Dari narasi sastra itulah, kita dapat belajar tentang tata pemerintahan, sejarah kekuasaan dan peradaban Nusantara yang sesungguhnya.

Munawir Aziz
Teroka, Kompas, 21 Desember 2011

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.