Ruang Negoisasi Akar Rumput (Riset Dangdut Indonesia, Andrew N. Weintraub)

09.37
Ruang Negoisasi Akar Rumput (Riset Dangdut Indonesia, Andrew N. Weintraub)
Oleh: Munawir Aziz*


Judul Buku : Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia’s Most Popular Music
Penulis : Andrew N. Weintraub
Penerbit : Oxfor Univerity Press
Cetakan : I, 2010
Tebal : 258 halaman

Musik Dangdut dan dunia di sekitarnya adalah wajah dan penanda manusia Indonesia. Sebagai musik populer di negeri ini, Dangdut turut menyangga kehidupan sosial dan proses kebudayaan warga negeri ini. Namun, dewasa ini musik Dangdut mendapatkan tantangan dalam ruang, pasar, media, format pertunjukan, maupun seniman yang bergelut di ranah ini. Dangdut mengalami pasang-surut penggemar, pro-kontra antara pelbagai pihak, dari politikus sampai agamawan. Namun, pada aras grassroot, Dangdut tetap menjadi hiburan alternatif di tengah gempuran berbagai aliran musik lain, yang deras mengucur sebagai ruang ekspresi hiburan masyarakat kini.
Dalam konteks historis maupun praktis, musik Dangdut dan problem sosial di sekitarnya, memberi kontribusi penting pada pembentukan identitas manusia Indonesia. Dangdut tak hanya hadir di ranah musik, lebih lanjut ia merupakan identitas. Dangdut sebagai identitas, berdasar fakta bahwa kehidupan sosial, politik dan ekonomik terefleksikan dalam narasi musik Dangdut. Kehidupan sosial manusia Indonesia beserta sengkarut problemnya, terekam oleh sebagian narasi musik dan lirik lagu yang dinyanyikan oleh Roma Irama, Meggy Z, A. Rafiq, Camelia Malik, Cici Paramida dan Inul Daratista. Di sisi lain, musik Dangdut sebagai hiburan alternatif dan berskala massa, merupakan ruang katarsis dan berdampak pada gairah hidup rakyat di level bawah. Dangdut dianggap sebagai musik populer, namun ia berada di ambang budaya pop yang digerakkan industri (Heryanto, 1998: 6). Di hadapan kuasa industri, seniman Dangdut dihadapkan pada kontestasi dengan musik maupun seniman populer lain.
Namun, pengkajian secara mendalam tentang musik Dangdut, sengkarut kehidupan sosial di sekitarnya dan implikasi pada proses identifikasi personal maupun komunal masyarakat Indonesia, tak banyak dilakukan. Pengkajian musik maupun seni etnik nusantara oleh para Indonesianis maupun peneliti domestik, masih berjejak pada arus utama musik keroncong, gamelan dan ranah seni tradisional wayang. Buku “Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia’s Most Popular Music” merupakan sedikit buku yang menarasikan musik Dangdut, warna kehidupan sosial sebagai lingkarannya, serta kaitannya dengan proses kultural maupun identitas masyarakat akar rumput. Andrew N. Weintraub melalui buku ini, meneliti secara mendalam fenomena musik Dangdut di pelbagai kota di Indonesia, tak hanya dalam konteks Melayu, namun juga di ranah urban.



Penelitian Weintraub ini menjadi altenatif untuk mengkaji Dangdut dalam perspektif musik, serta efek kultural dengan pisau metodologi etnografi. Pelbagai penelitian sebelumnya tentang musik Dangdut di Indonesia, maupun di kawasan Asia, lebih menitikberaratkan pada aspek analisis musik dan perkembangan stilistik, semisal peneliti sebelumnya di bidang sejarah (Frederick 1982; Lockard 1998), musik (Hatch 1985; Yampolsky 1991; Wallach 2008), antropologi (Simatupang 1996; David 2009), dan Asia studies (Pioquinto 1995&1988, Sen-Hill 2000; Brown 2000).
Dangdut sebagai identitas
Melalui penelitian ini, Weintraub ingin menghadirkan fakta lain tentang musik Dangdut, untuk menangkis pendapat dari kaum moralis bahwa musik Dangdut sarat dengan aroma alkohol, seks dan perjudian. Namun, Weintraub berpendapat lain, justru musik Dangdut merupakan ruang negosiasi sosial dimana berbagai elemen masyarakat akar rumput berkumpul, mengungkapkan gelisah, penderitaan dan aspirasi yang tak tersalurkan lewar pipa politik. Dangdut sebagai ajang kontestasi untuk menggugat ketidakadilan sosial di ranah publik, yang selama ini tersumbat dari lorong rakyat ke gedung DPR maupun istana negara.
Pada buku ini, Weintraub mengungkapkan, "sebagai akar dari musik populer masyarakat urban pasca kolonial, Dangdut merupakan situs istemewa untuk menarasikaan cerita tentang identitas negara-bangsa Indonesia modern (hal. 12). Lebih lanjut, Weintraub berargumentasi, “Dangdut tak hanya sebagai refleksi langsung atas politik nasional dan budaya, tetapi Dangdut sebagai praktik ekonomi, politik dan ideologi yang telah membantu membentuk gagasan masyarakat terkait kelas, gender dan etnisitas dalam bangsa-negara Indonesia moderen (hal. 13). Weintraub memandang dangdut merupakan medan sosial, ia mendekati dangdut sebagai bentuk politik kebudayaan dimana aktor sosial mencipta simbol sebagai media perlawanan serta menghadirkan makna dan nilai budaya.
Sebagai musik populer yang punya akar historis dari tradisi Melayu, Dangdut merekam perkembangan peradaban maupun interaksi sosial manusia Nusantara, dalam kurun panjang. Walaupun hasil pembaruan hibrida antar pelbagai aliran musik, terutama musik India, Dangdut telah menjelma sebagai media hiburan rakyat yang paling efektif. Dangdut punya kisah sejak sebelum Indonesia merdeka, sebagai ruang transformasi identitas manusia kita.
Dangdut tak hanya hadir di ranah grassroot, tapi juga hadir di panggung politik. Musik Dangdut merupakan pemantik massa paling efektif di tiap kampanye, sebagai jurus propaganda partai politik untuk menarik konstituen. Tak hanya itu, musik Dangdut pun menyimpan kisah bagi presiden Indonesia tiap periode. Presiden Soekarno, Soeharto sampai zaman Gus Dur dan SBY memiliki kisah menarik tentang musik ini di lingkaran istana. Popularitas musik dangdut dan penyanyinya juga dimanfaatkan sebagai modal politik. Catatan sejarah menunjukkan, beberapa pemusik dangdut beramai-ramai masuk partai, sebagai pengurus maupun juru kampanye. Pendeknya, dangdut tak hanya urusan hiburan semata, ia menembus sekat politik, ekonomi dan agama.
Dangdut Stories menghubungkan perangkat estetik dan penggunaan musik untuk perubahan sosial, serta—dalam ungkapan Weintraub—“to shifting socal and material conditions in modern post-independence Indonesia”. Riset Weintrub ini penting untuk memberi ruang musik Dangdut sebagai penyangga identitas kultural manusia Indonesia, selain narasi-narasi besar politik. Dangdut menunjuk terang wajah kita, wajah manusia Indonesia. Oh, Dangdut, pinggul bergoyang, rasa ingin berdendang... 

Munawir Aziz, penikmat dank-doet..
Gatra, XVI, 28 feb-6 Maret 2011

1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.