Etnisitas dalam Kepentingan Politik (Jamie D. Davidson, David Henley, Sandra Moniaga )
Oleh : Munawir Aziz*
Judul Buku : Adat dalam
Politik Indonesia
Editor
: Jamie D. Davidson, David Henley, Sandra
Moniaga
Penerbit : KITLV-Pustaka Obor, Jakarta
Cetakan : I, 2010
Tebal
: xxii+456 halaman
Etnisitas
masih menjadi kajian penting dalam diskursus tentang identitas keindonesiaan.
Sejarah panjang Nusantara hadir dengan keragaman adat dan etnis dalam konteks
persatuan yang dicitakan oleh idealisme kuasa. Konsepsi nusantara inilah yang
menjadi model bagaimana etnisitas menjadi penanda pluralitas, namun dibingkai
dalam semangat integrasi maupun bayang-bayang kekuasaan.
Perkara
etnisitas yang nampak pada beragamnya komunitas adat muncul kembali pasca
reformasi. Keistemewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang menjadi polemik
politik nasional merupakan contoh betapa adat dan etnisitas menjadi perkara
penting. RUU Keistemewaan DIY menjadi medan pertarungan wacana antara
pemerintah dan pihak keraton Jogjakarta, yang didukung oleh ribuan pengikutnya.
Presiden SBY bersikeras menyatakan bahwa sistem demokrasi tak bisa berdampingan
dengan monarki, sedangkan Sultan Hamengku Buwono XI mengatakan bahwa Jogjakarta
merupakan daerah istiwewa yang dikelilingi simbol keraton.
Meskipun
demikian, demokrasi Indonesia menjadi unik sebab memiliki kasus kebangkitan
kerajaan, yang tak ditemukan di negeri lain. Di negeri ini, masyarakat adat
merupakan elemen penyangga wacana etnisitas dalam bingkai pluralisme. Puncak
kebangkitan masyarakat adat pasca reformasi, ditandai dengan penyelenggaraan
Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) pada Maret 1999 di Jakarta. Pada
momentum ini, peserta kongkres menyampaikan manifesto “Kalau negara tidak mengakui
kami, maka kami tidak mengakui negara”. Ungkapan ini merupakan reaksi terhadap
kebijakan pemerintah yang cenderung menutup mata terhadap eksistensi masyarakat
adat, persinggungan kepentingan ekonomi sumber daya daerah dan usaha untuk
menggali kembali identitas masyarakat adat.
Namun,
bangkitnya legitimasi kultural masyarakat adat juga dibarengi dengan sentimen
kedaerahan, yang meruncingkan problem seputar etnisitas. Permasalahan etnis
mengemuka kembali, semisal aksi Republik Maluku Selatan (RMS), komunitas Dayak
Kalimantan, serta warga Papua yang memperjuangkan hak-hak komunal, yang
berseberangan dengan kepentingan negara.
Berpijak
dari konteks di atas tentang masyarakat adat nusantara, buku ‘The Revival of
Tradition in Indonesian Politics; the development of adat from colonialism to
indigenism’—merupakan ulasan komprehensif tentang muasal, muatan
politis-ideologis, maupun kritik terhadap bangkitnya masyarakat adat di
Indonesia. Lima belas tulisan panjang dalam buku ini merupakan riset subtansial
untuk membaca maupun menafsir ulang identitas masyarakat adat nusantara.
Wacana
indigenisme
Bangkitnya
masyarakat adat untuk menggali identitas budaya dan legitimasi kuasa, tak lepas
dari wacana indigenisme yang berkembang sebagai ideologi kultural. David
Henley-Jamie Davidson mengungkapkan, Indigenisme sebagai sebuah ideologi,
dipelopori di negara-negara Amerika, Australia, dan Skandinavia, yang pada
abad-abad belakangan para pemukim Eropa dan anak keturunannya menggantikan
penduduk asli yang telah ada sebelumnya. Di Indonesia, seperti pada kebanyakan
negara-negara Asia, persoalan membedakan kelompok yang indigenous dari yang
non-indigenous lebih rumit, dan sebagaimana kebanyakan pemerintah di Asia,
Negara Indonesia di bawah Soeharto menggunakan pembenaran bahwa semua orang
Indonesia adalah indigenous sebagai dalih untuk menolak penggunaan peristilahan
dan implikasi-implikasi dari perdebatan internasional (hal. 11).
Hadirnya
masyarakat adat di pelbagai daerah di Indonesia, merupakan kasus penting kajian
politik pasca-kolonial. Fenomena ini memberi bukti bahwa identitas
keindonesiaan belum selesai diperdebatkan. Problem etnisitas yang berkelindan
dengan fenomena masyarakat adat merupakan penanda bahwa identitas keindonesiaan
masih menyisakan tanya. Maka, tak salah apabila Indonesia sebagai—meminjam
ungkapan Ben Anderson—immagined community (komunitas terbayangkan).
Politik identitas ini merupakan problem yang terus berputar sebagai pertanyaan
tentang Indonesia lampau, kini dan mendatang.
Munawir Aziz
Tidak ada komentar: