'Palu-Arit' dalam Politik Ingatan (Gunawan Budi Susanto)
Oleh: Munawir Aziz*
Judul Buku
: Nyanyian Penggali Kubur
Penulis
: Gunawan Budi Susanto
Penerbit
: Gigih
Pustaka Mandiri, Jogjakarta
Cetakan
: I, Agustus 2011
Tebal
: vi+ 95 halaman
September 1965 merupakan momentum dimana
sejarah Indonesia mengalami kesenyapan, sekaligus kepenatan. Kesenyapan dimana
ada jutaan suara dibungkam, ribuan nyawa dicabut, tubuh dibunuh, dan darat
muncrat dalam kegelapan malam. Juga, sejarah yang penat oleh narasi rekayasa
yang dipanggungkan oleh Orde Baru. Nyanyian 30 September 1965 merupakan langgam
politik bagi penguasa untuk mencuci otak warga Indonesia; tentang hal-hal yang
tak pernah selesai.
Pada hari gelap itulah, sejarah Indonesia
dinarasikan selama lebih dari tiga dekade. Fase sejarah kegelapan politik itu,
melengkapi semangat pemuda pada 1928, hasrat merdeka pada 1945, dan guncangan
politik nasional pada 1998. Namun, September 1965 tetaplah misteri. Ia serupa
sumur tua yang gelap dan penuh mitos; berkesiur tafsir dan narasi yang
bertentangan.
Dari narasi yang gelap itulah, Kang Putu
(Gunawan Budi Susanto) merekam memori dari kisah-kisah orang-orang pinggiran
dari tempat ia tumbuh berkembang; di pinggiran Bojonegoro dan Blora. Kisah-kisah
yang menyeruak dari kegelapan September 1965 diangkat kembali dengan tafsir dan
relasi kuasa yang merdeka.
Melalui “Nyanyian Penggali Kubur”, Kang
Putu hendak memanggungkan kisah-kisah sunyi itu dalam ruang publik
keindonesiaan kita yang berjarak dengan masa lalu, namun masih terbebani
kegelapan sejarah.
Kisah-kisah gelap tentang tragedi September 1965 dan efeknya
pada kehidupan masyarakat pinggiran. Kisah-kisah berjejalin pada tujuh cerpen:
Metamorfosis Kecemasan, Dalam Kubur Mereka Berdampingan, Mbok Nah, Tong dan
Sayur Bayam; Seruling Pakde Mitro, Eksekusi, Langit Gelap Tanpa Bintang, dan
Nyanyian Penggali Kubur.
Dari sejarah gelap 1965, kegilaan, trauma
dan keterpinggiran merupakan pilihan lain setelah kematian. Tak ada kewarasan.
Yang ada hanya kegilaan penguasa, dendam militer dan trauma warga. Maka, di
tengah tragedi politik itu, nggendeng (berpura-pura gila), bisa jadi
menjadi jurus penting untuk lari dari kegilaan yang sesungguhnya. Inilah
nyawa dari kisah Pak De Mitro:
Nggendeng, Gus. Itulah yang kulakukan
setiap kali berhadapan dengan sesuatu yang tak terlawan,” ujar Pakde Mitro.
“Siapa bisa menyalahkan wong edan? Orang pun tak bakal memedulikan orang gila
nimbrung dalam perhelatan berbekal suling bambu bulukan itu bukan?” tuturnya
sembari terkekeh.
Saat ngedan, Gus, aku busa mengandalkan
suling ini agar tetap hidup. Hari ini ada pertunjukan wayang di Desa Tempelan,
besok tayuban di Mlangsen, lusa klenengan di Jetis. Ke sanalah aku datang dan
memainkan sulingku. Lalu, aku bisa makan enak. Gratis.” Dia menyeringai. Tampak
giginya yang menghitam oleh asap rokok kelobot tembakau kedu yang ampeg
(Seruling Pakde Mitro, 35-36).
Kegilaan pasca 1965 juga memanggungkan
ironi kemanusiaan yang tak pernah surut: tentang keluarga hilang, mayat-mayat yang
tak diketahui identitasnya, atau tentang nasib diri yang dinyatakan cacat
kemanusiaan secara sepihak, hanya karena dituduh pernah terlibat dalam sebuah
organisasi pergerakan atau partai politik.
Dalam cerpen “Penggali Kubur”, Gunawan
Budi Susanto memanggungkan ironi yang lain: “Penggali Kubur! Itu pekerjaannya
dan itu pula yang kemudian menjadi namanya. Sudah 44 tahun dia bekerja. Setiap
hari, setidaknya dia menggali satu liang kubur. Jadi selama 44 tahun, total
jenderal dia sudah menggali 16.060 liang kubur.”
Kisah Penggali Kubur merupakan sisi lain
dari ruang pasca 1965 yang tak terkuak. Ruang dimana tubuh yang dibunuh di
gelap malam, lalu dihanyutkan derasnya aliran sungai. “Aku tak ingin
orang-orang itu tak terkuburkan secara layak seperti Bapak. Tak ada alasan bagi
siapapun untuk membiarkan orang mati tanpa dikuburkan secara semestinya. Apapun
agama mereka, apapun keyakinan mereka” (Nyanyian Penggali Kubur, hal. 83).
Kisah-kisah getir pada kumpulan cerpen
“Nyanyian Penggali Kubur”, merupakan untuk menyuarakan mereka yang tertindas
dan tenggelam dalam gelap sejarah. Dalam pengakuan Gunawan Budi Susanto, bagian
upaya dari “memasuki luweng kejujuran untuk menemu nurani kemanusiaan”.
Atau, dalam perspektif yang lebih luas, upaya untuk menyuarakan kaum subaltern—dalam
bahasa Gayatri Spivak—dalam panggung politik dan ruang publik di negeri ini.
Munawir Aziz.
tulisannya keren-keren kang ... suka :)
BalasHapus