Membangun Perspektif Ruang Publik Demokrasi (F Budi Hardiman)

19.20
Oleh : Munawir Aziz*

Judul Buku     : Demokrasi Deliberatif, Menimbang 'Negara Hukum' dan 'Ruang Publik' dalam Diskursus Jurgen Habermas
Penulis        : F. Budi Hardiman
Penerbit     : Kanisius Jogjakarta
Cetakan    : I, 2009
Tebal        : 246 halaman


 


Demokrasi sebagai sistem politik di Indonesia terus mengalami gempuran. Perkara politik yang terus menghadirkan sengketa, ancaman teror dan problem kesejahteraan warga menjadi masalah yang terus terulang. Sengketa di ruang kuasa menjadi bagian dinamis dalam lingkaran dan struktur elite politik. Sistem pemilu dan hasil finalnya memang menjadi persoalan yang seolah tak pernah selesai, karena terus melahirkan gugatan. Kritik atas sistem ini hadir dari pihak yang dirugikan secara politik maupun yang terkena implikasi kompetisi kuasa.
Ancaman teror juga terus mengentak ruang sadar warga Indonesia. Teror ini tak sekedar menjadi kejutan bagi iklim damai yang telah disemai, namun juga tamparan atas kerja pemerintah yang selama ini berlangsung. Teror berupa bom yang merampas nyawa, merusak titik investasi dan mengundang gelisah warga menjadi bagian politik yang menganut demokrasi. Sistem pemenangan mayoritas sebagai pengendali kuasa memang mengundang minoritas untuk melakukan protes. Sikap protes ini tak sekedar bertindak sebagai oposisi dalam arena politik, namun juga hadir untuk memberi kejutan berupa teror. 



Krisis dalam praktik demokrasi di Indonesia menjadi penanda betapa warga negeri ini masih belum merdeka dalam arti sebenarnya. Kisruh politik dan kekacauan dalam menerjemakan demokrasi sebagai gerbang kesejahteraan warga ternyata masih terjadi hingga saat ini. Inilah tragedi dalam ruang politik sebagai akibat krisis demokrasi Indonesia. Padahal, Aristoteles telah mewanti-wanti bahwa demokrasi itu menghendaki kemerdekaan sebagai amunisi utama. "Ide yang mendasari demokrasi ialah kemerdekaan. Kemerdekaan yang diyakini dalam demokrasi berkelipatan dua; dalam satu bentuk ia berarti bahwa semua orang mempunya masa jabatan dan kehendak, dalam bentuk yang lain, kemerdekaan berarti ”hidup sesuka anda”ungkap Aristoteles, dalam Politic (1317a22). Namun, yang paling penting, kemerdekaan berarti menjadi diri yang tanpa tekanan, masuk dalam sistem tanpa terperangkap. Kemerdekaan dalam praktik demokrasi bukan sekedar hidup sesuai kehendak, namun tetap mematuhi aturan.
Krisis di ruang demokrasi di Indonesia lebih disebabkan oleh peran negara yang terlalu represif kepada rakyat. Tentu ingatan kolektif warga Indonesia masih dapat memetik pelajaran dari rezim Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun. Arus kuasa yang tak terbendung seringkali merugikan rakyat kecil. Namun, penguasa juga sering melakukan kompromi terhadap pemodal. Hal ini jelas merupakan paradoks demokrasi.
Selain tak seimbangnya peran pemerintah kepada rakyat dan pemodal, sejarah kuasa di Indonesia juga mencatat betapa oposisi tak pernah mendapat tempat yang memadai. Ken Arok menjadi amsal nyata betapa kekuatan oposisi dapat dilenyapkan sebagai strategi kekuasaan. Hal ini tentu menemukan relevansi pada masa sekarang, pilihan sebagai oposisi merupakan sikap politik yang sulit.
Badai krisis dalam ruang demokrasi di Indonesia yang tak berakhir ini memang menjadi pertanyaan penting dalam analisis politik. Dalam genealogi sistem, kndisi krisis ini disebabkan oleh tidak tepatnya Indonesia sebagai lambaran sistem demokrasi sebagaimana tesis Rosseau. Nah, untuk melakukan transformasi sistem dan tindakan, F. Budi Hardiman mencoba memberikan tawaran alternatif dalam praktik politik dengan model "Demokrasi Deliberatif".
Budi Hardiman melontarkan pemikiran bahwa sistem demokrasi Indonesia butuh jalan keluar agar tak terjebak dalam jebakan krisis tak berujung. Tawaran sistem yang diajukan Budi Hardiman, dengan menggunakan teori Diskursus Jurghen Habermas. Demokrasi deliberatif dalam amatan Budi Hardiman merupakan pintu keluar bagi kepenatan demokrasi.
Istilah deliberasi berasal dari kata Latin deliberatio yang lalu dalam bahasa Inggris menjadi deliberation. Istilah ini berarti konsultasi, menimbang-nimbang atau musyawarah. Arti leksikal ini harus ditempatkan dalam konteks publik atau ”kebersamaan secara politis” untuk memberi pengertian yang penuh sebagai sebuah konsep dalam teori diskursus (Hal. 128).
Dalam pemikiran Habermas, jauh lebih penting memahami proses terbentuknya opini dalam ruang pemahamanan masyarakat, dari pada memaksakan aturan dari struktur yang dilegalkan oleh sistem pembentukan undang-undang. Masyarakat akan lebih mengerti terciptanya hukum dan akan berusaha menaatinya. Dalam proses melahirkan ketetapan hukum, Habermas mengungkapkan bahwa bukan jumlah kehendak perseorangan atau kehendak umum yang menjadi pusat legitimasi dari hukum, melainkan proses pembentukan keputusan hukum ataupun politis yang selalu terbuka terhadap setiap tatapan publik yang kritis dan argumentatiflah yang menjadi sumber legitimasi hukum itu. Dengan demikian, argumentasi dan wacana kritis yang berputar dalam ruang diskusi masyarakat menjadi saluran penting untuk masuk ke pintu legitimasi hukum.
Konsep ini menjadi alternatif di tengah kuasa otoriter dan pemaksaan keputusan yang seringkali menimbulkan protes masyarakat. Pelaksanaan demokrasi yang tak sesuai dengan aspirasi, rawan menimbulkan aksi penolakan. Budi Hardiman memandang gejala ketidakpatuhan warga (civil disobedience) sebagai gerakan moral untuk mendapatkan hak keadilan. "Jika demokrasi dimengerti sebagai demokrasi deliberatif, pengambilan keputusan politis harus mengungkapkan masalah-masalah sosial seinklusif dan seluas mungkin, termasuk persoalan yang dihadapi minoritas. Ketidakpatuhan warga dapat dimengerti sebagai peringatan agar sistem politik tetap tersambung dengan ruang publik" (Hal. 165).
Hadirnya buku di tengah krisis demokrasi dalam praktiknya di Indonesia dapat menjadi alternatif penting. Kerja keras Budi Hardiman untuk mengajukan tawaran model demokrasi deliberatif penting bagi pencarian solusi krisis demokrasi. Bukankah krisis demokrasi harus segera dicarikan solusi, sebelum masyarakat penat? Buku ini dapat menjadi penyegar pemikiran penguasa dan tuntunan untuk memahami lebih kongkret usaha menghentikan krisis di Indonesia dalam perspektif filosofis. Buku ini juga dilengkapi transkip wawancara antara Budi Hardiman dengan Jurghen Habermas. Tentu, buku ini menawarkan gagasan alternatif apabila kita mau meluangkan waktu untuk suntuk memahami.


Munawir Aziz, penikmat buku.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.