Mengurai Akar Politik Teroris

19.00

Oleh: Munawir Aziz*

Judul Buku     : Politik Para Teroris
Penulis             : Mutiara Andalas
Pengantar       : AM Hendropriyono
Penerbit          : Kanisius
Cetakan          : I, 2010
Tebal               : 131 halaman



Teror tak henti mengintai kedamaian hidup warga Indonesia. Aksi-aksi teror terus hadir untuk menebar ancaman di berbagai kota. Indonesia seolah menjadi sarang teroris yang beroperasi dengan sel jaringan internasional. Kasus teror dengan atraksi bom terus berulang di tempat strategis yang menarik simpul kepanikan bagi mayoritas warga. Rentetan peledakan bom terjadi dengan kurun waktu satu dekade terakhir.
Pasca tragedi 11 September 2001 di Amerika, “terorisme” menjadi hantu yang menebar ancaman dan menjadi musuh dunia. Namun, istilah terorisme juga tak terdefiniskan secara utuh. Tafsir atas kata terorisme seolah berlumuran dengan kepentingan politik, fanatisme agama dan ketegangan antar etnik. Terorisme dilawan dengan terorisme baru atas nama kemanusiaan dan kepentingan politik global.
Musibah kemanusiaan di Afghanistan, konflik Irak, ketegangan di Iran dan beberapa negeri lain, merupakan sisa gerakan penumpasan teroris dengan aksi terorisme baru. Walaupun upaya perdamaian berupa dialog antar tokoh agama dan pemimpin politik sering diselenggarakan, terorisme masih saja menggema. 
Historiografi Indonesia juga tak melupakan aksi teror yang merobek ketenangan warga negeri ini. Pelbagai simbol ruang politik dan kepentingan publik terkoyak oleh serangan bom: gedung Bursa Efek Jakarta (13 September 2000), kediaman Duta Besar Filipina di Jakarta (1 Agustus 2001), Bom Bali I pada 12 Oktober 2002 di Paddy’s Café dan Sari Club, dan terulang pada 1 Oktober 2005. Kedubes Australia juga menjadi target teror bom pada September 2004. Ledakan bom di JW Marriot Kuningan Jakarta juga menghentak warga Indonesia akan sisa teror yang masih hadir di langit negeri ini.
Terbunuhnya gembong teroris dari negeri jiran, Azhari dan Noordin M. Top ternyata tak menyurutkan aksi terorisme di Indonesia. Beberapa waktu lalu, Densus 88 Mabes Polri juga meringkus pelaku teror di Aceh dan Pamulang (Jawa Barat). Polisi berhasil membunuh beberapa teroris meski masih ada yang lepas dari sasaran. Kasus di Aceh dan Pamulang mengindikasikan bahwa, teroris masih berkeliaran di bumi pertiwi, untuk menebar ancaman bagi pelbagai pihak.
Buku anggitan Mutiara Andalas, SJ., ini berusaha menguak motif aksi teror yang selama ini menjadi ancaman kedamaian di Indonesia. Tujuh esai panjang dalam buku ini seolah merangkai refleksi atas berbagai kasus teror, mengurai akar motif hingga mencari terobosan solusi untuk membasmi pelaku teror di negeri ini. Sebagai teolog, Mutiara Andalas meletakkan refleksinya pada relasi-relasi teologis yang hadir sebagai motif teror. Buku ini juga mengungkap motif politik para teroris yang menghadirkan tragedi, tetesan darah, ratapan tangis dan hilangnya nyawa korban. 


Mantan Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) Indonesia, AM. Hendropriyono mengungkapkan bahwa akar terorisme di Indonesia bisa dilacak sebagai gerakan Negara Islam Indonesia (NII) yang bermetamorfosa dengan Jemaah Islamiyah dan jaringan al-Qaeda. Hendropriyono meletakkan pijakan pemikirannya pada tesis doktoralnya di UGM Jogjakarta.
Dalam pengantar buku ini, Hendropriyono mengungkapkan, “ketertiban dan kedamaian umat hanya akan terjadi jika tesis liberal demokrasi pada tataran praksis dapat terlaksana secara etis dan konsep Islam universal dapat terlaksana secara moderat sesuai dengan fitrahnya. Hanya dengan dialog antar tesis dan antitesis yang demikian, maka proses dialektika universal dapat melahirkan sintesis berupa perdamaian dunia, yang berdasarkan pada hak manusia yang sama di muka bumi” (hal. 13). Ketegangan antara demokrasi liberal dan konsep khilafah islamiyah menjadi ruang benturan hingga menyebabkan luapan ekspresi terorisme. Relasi seimbang antara proses demokratisasi dan prosedur penegakan Islam universal akan mencipta kedamaian tanpa gugatan teror.
Penodaan agama
Rentetan aksi terorisme yang terjadi di Indonesia mengindikasikan pemakaian jubah agama sebagai citraan pelaku teror. Pembelaan terhadap agama dengan fanatisme buta menjadi modus operasi teroris. Pelaku teror sering menggunakan atribut agama, berupa konsep syariah, teriakan nama Allah, surban, hingga buku dan vcd yang mendeskripsikan konsep keagamaan. Motif pemakaian identitas agama ini seolah untuk menutupi pemahaman agama yang dangkal dan parsial.
Dalam buku ini, Mutiara Andalas mengutuk pelaku teror yang memakai jubah agama manapun. Sebab, menurutnya pemakaian atribut agama merupakan pelecehan terhadap konsep kebijaksanaan Tuhan dan pesan kedamaian agama. “Jaringan teroris menggagahi agama dengan aksi antikemanusiaan. Kita membuat kesalahan fatal jika memakai, apalagi mengandalkan jaringan teroris anti-kemanusiaan untuk membela agama. Jaringan teroris menyembah ilah kekerasan, bukan memeluk Allah perdamaian. Ia parasit yang harus dibersihkan dari pohon agama” (hal. 76).
Penghianatan atas nama Tuhan inilah yang menjadi kesalahan fatal teroris ketika melancarkan aksi sporadis. Penulis buku ini berupaya untuk membeberkan fakta jelas, bahwa teror merupakan aksi salah-kaprah yang mencipta tragedi kemanusiaan. Refleksi teologis yang menjadi bingkai buku ini memberi tawaran lain untuk memahami perkara terorisme dengan penekanan relasi-relasi fanatisme keagamaan.
Buku ini hadir pada waktu yang tepat, di saat aksi teror datang silih berganti menyapa manusia Indonesia. Refleksi yang dihadirkan Mutiara Andalas memberi tawaran lain, untuk menyikapi aksi teror yang mengguncang negeri ini.

Munawir Aziz, esais dan peziarah buku.



Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.