Spirit Antikorupsi dari Jokowi

00.22
Spirit Antikorupsi dari Jokowi
Oleh : Munawir Aziz*

Judul Buku     : Jokowi; Pemimpin Rakyat Berjiwa Rocker
Penulis    : Yon Thayrun
Penerbit     : Penerbit Noura, Jakarta
Cetakan    : I, Maret 2012
Tebal        : xii+ 224 hal.



Jokowi merupakana fenomena di tengah buruknya sistem pemerintahan era desentralisasi, dan meningkatnya korupsi kepala daerah di negeri ini. Lahir pada 21 Juni 1961 di Solo, dari keluarga kurang mampu, Jokowi terdidik untuk kerja keras. Spirit inilah yang menjadikan Jokowi memilihi visi dan feeling yang dapat diandalkan dalam berbisnis, maupun sebagai pemimpin.
Buku “Jokowi; Pemimpin Rakyat Berjiwa Rocker” karya Yon Thayrun ini hadir pada momentum yang tepat, untuk menyajikan informasi yang seimbang tentang sosok Jokowi kepada masyarakat. Buku ini kaya dengan informasi dan data tentang sisi-sisi humanis Wali Kota Solo yang tak banyak diungkap media massa, di antaranya tentang kehidupan keluarga, dan kecintaan Jokowi pada musik Rock.
Sebagai Wali Kota Solo, Jokowi sukes membangun kota Solo dengan program penghijauan, bantuan pendidikan-kesehatan dan progresif memberantas korupsi.
Untuk bidang pendidikan, diluncurkan program kartu Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Solo (BPMKS). Hingga tahun 2010, 43.000 siswa dari kalangan tidak mampu telah mendapat bantuan pendidikan gratis dan pemerintah Solo telah menggelontorkan dana sebesar Rp. 336,3 miliar, tahun 2010 meningkat menjadi Rp. 441,8 miliar, dan 2011 naik lagi menjadi Rp. 471,5 miliar (hal.184).
Dalam membangun kotanya, Jokowi menciptakan image dalam visi “Solo: the Spirit of Java”, dan “Solo Masa Depan adalah Solo Masa Lalu”. Visi inilah yang tampak dalam beberapa kebijakan pemerintahan yang dinahkodainya. Selain itu, ia juga menciptakan tatanan birokrasi yang bersih dari korupsi, seperti pembuatan KTP cepat dalam 1 jam dan gratis, pelayanan izin investasi hanya 6 hari, serta program pendidikan dan kesehatan gratis bagi warga yang tidak mampu.
Dari kerja keras Jokowi dan wakilnya, FX Hadi Rudyatmo bersama jajaran birokrasi, Solo tampil sebagai kota dengan kemajuan signifikan. Dalam kurun waktu lima tahun, pemerintah kota Solo telah berhasil menata 5.817 PKL serta merevitalisasi 15 pasar tradisional, dari 37 pasar tradisional yang ada di Solo. Tak hanya itu, Pendapatan Asli Daerah (PAD) kota Solo dari retribusi pelayanan pasar yang sebelumnya hanya Rp. 7,8 miliar, sejak tahun 2007 jumlahnya terus meningkat. Pada tahun 2007, pemasukannya tercatata Rp. 9,9 miliar. Lalu tahun 2008 menembus angka Rp. 10,2 miliar, seterusnya pada tahun 2009 sebesar Rp. 11,7 miliar, tahun 2010 Rp. 12,5 miliar dan tahun 2011 mencapai Rp. 19,2 miliar (hal.180).
Kapitalisasi budaya
Jokowi sadar dengan potensi sejarah kota Solo, dengan menjaga situs budaya, merawat kebudayaan, dan menciptakan festival seni internasional yang berlangsung hampir tiap bulan. Kota Solo tercatat sebagai kota sejarah, dengan adanya Museum Radyapustaka (1890), stasiun radio pertama di Indonesia dengan nama Solosche Radio Vereeniging (SRV) pada 1933, Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan di Solo pada 1950, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), pada 1945, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 1945, dan beberapa momentum sejarah lainnya. Potensi sejarah dan budaya inilah yang dikapitalisasi Jokowi untuk membangun kota Solo masa depan.
“Solo adalah kota pergerakan, kota sejarah, kota yang bertradisi dan berkebudayaan, saya tidak mau Solo gagal mempertahankan itu semua. Kalau gagal, akan berdampak pada negeri ini”, ungkap Jokowi.
Sebagai walikota Solo, Jokowi sadar betul dengan etika Jawa berupa budaya “mangku”. Etika inilah yang dipegang Jokowi untuk merangkul semua elemen masyarakat. “Di sini semua ada, Islam garis keras ada, Kristen ada, Kejawen ada. Aliran kiri ada, kanan apalagi, tengah juga ada. Selain itu, di Solo juga ada 33 laskar, yang menurut saya terbanyak di Indonesia. Saya rangkul semuanya karena penting untuk membangun Solo”kata Jokowi.
Visi Jokowi dalam merangkul semua golongan tampak pada kedekatannya dengan warga Tionghoa di Solo. Selama dia memimpin, warga Tionghoa mendapat payung keamanan dan stabilitas sebagai etnis minoritas. Sebelumnya, warga Tionghoa menjadi korban dalam beberapa kerusuhan massal, pada tahun 1912, 1967, dan terakhir pada 1998. Bahkan, Jokowi mendukung ketika warga Tionghoa mengganti salah satu jalan di kota Solo dengan nama Yap Tjwan Bing, salah satu tokoh Tionghoa solo pada masa pergerakan.
Buku ini penting untuk dibaca, meski ada tendensi terkait dengan pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Selain itu, buku ini ditulis dengan tergesa, sehingga ada beberapa kesalahan penulisan, dan informasi yang diulang, yakni tanggapan Jokowi perihal survey Tranparancy International Indonesia (TII) tentang indeks korupsi di kota Solo mencapai angka 6,08 (hal.108, dan hal. 189), tentang dana rehabilitasi PSK (hal. 190). Terlepas itu semua, buku ini berkontribusi untuk memberikan semangat bagi warga Indonesia, bahwa masih ada sosok pemimpin yang sungguh-sungguh membela rakyat dan tegas memberantas korupsi.

Munawir Aziz
Mahasiswa Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM Jogjakarta.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.