Negeri Sumpah dan Upacara
Negeri Sumpah dan Upacara
Oleh : Munawir Aziz*
Sumpah dan upacara berderet menyusun Indonesia.
Sumpah jadi bukti bahwa imajinasi dan keyakinan jadi tonggak untuk memulai
peristiwa agung dalam catatan sejarah. Sumpah hadir untuk memberi legitimasi
keyakinan dan keputusan. Sumpah membuka pintu bagi hadirnya harapan, ia
menyemai benih keyakinan bagi diri, rakyat dan pemimpin. Sumpah jadi senjata
ampuh untuk membaptis maupun mengadili. Momentum sumpah memberi kontribusi bagi
jejak historiografi nusantara maupun Indonesia.
Sakralitas sumpah menggerakkan sayap imajinasi dan
keyakinan untuk melakukan agenda besar di luar kemampuan subyektif. Sayap
sumpah melampaui zaman dengan menerabas batas kelaziman. Sumpah jadi garansi
untuk meneropong peristiwa masa depan. Sumpah memerlukan bukti yang terus
ditagih oleh publik, untuk tak menjadi sampah. Sumpah hadir dengan upacara yang penuh dengan tanda. Upacara mengagungkan
perayaan simbol-simbol dengan efek legitimasi dan relasi antar elemen. Relasi
politik-kuasa hadir di berbagai sumpah dan upacara yang mewarnai historiografi
Indonesia. Sumpah memberi lambaran keyakinan, upacara menghadirkan legitimasi
dan refleksi.
Sumpah membuka peluang gagasan nusantara untuk
mewujud sebagai warisan sejarah kuasa kerajaan. Nusantara lahir dari kerja
politik selama lebih dari dua dekade, sebagai konsekuensi Sumpah Pallapa.
Gadjah Mada selama tahun Saka 1258-1279, menggerakkan seluruh tenaga, pikiran
dan harapan untuk mewujudkan nusantara. Keringat, darah dan nyawa tercecer
untuk mewujudkan isi sumpah.
Nusantara dalam bayangan Gadjah Mada adalah
bentangan kuasa dari Gurun (Lombok), Seran (Seram), Tanjung Pura, Haru (Sumatra
Utara), Pahang (Malaya), Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik (Singapura).
Nusantara dilambari oleh sumpah yang jadi prasasti keperkasaan Majapahit.
Sumpah Gadjah Mada memberi bukti, tak sekedar janji.
Sumpah beriringan dengan upacara untuk menggerakkan
ruh dan tubuh. Upacara hadir di tengah-tengah aktifitas manusia dengan landasan
kultural dan spiritual. Upacara memberi tanda bahwa manusia butuh ruang untuk
melepaskan diri realitas yang penat. Upacara memberi kelonggaran untuk
menghirup aroma spiritualitas dan merayakan ekstase. Upacara memberi nyawa bagi
Indonesia, sekaligus menggerakkan energi warganya. Manusia Indonesia dilahirkan
dan melahirkan upacara. Seluruh prosesi dalam hidup manusia Indonesia memberi
ruang untuk khusyu’ menyelenggarakan ritual. Dari lahir sampai mati, manusia Indonesi merayakan berbagai upacara untuk
memberi peringatan pada diri dan lingkungan.
Mitos lokal membuka peluang upacara untuk terus
dirayakan. Bernard HM Vlekke (2008; 38) dalam Nusantara: Sejarah Indonesia,
menuliskan betapa ritus kultural memberi kontribusi dalam penguatan karakter
nusantara maupun identitas Indonesia. Jejak kerajaan kuno masih menyisakan
tradisi untuk menunaikan upacara sebagai ibadah dan kebutuhan spiritual. ”Dekat
Prambanan, ada reruntuhan candi yang dinamakan “Loro Jonggrang”, nama yang
diberikan oleh penduduk sekitar bagi patung dewi hindu ”Durga”. Durga, “yang
tak terdekati”, adalah salah satu perwujudan dewi, istri Shiwa, yang memiliki
kekuatan suprainsani. Para petani Jawa dari daerah sekitar masih sering membawa
persembahan pada Durga sampai akhir-akhir ini, ” tulis Vlekke. Denys Lombard
menyebut ritus kultural sebagai keunikan nusantara. Sumpah dan upacara
menebarkan jejak ritus kultural yang terus dimaknai.
Ritus kultural
Upacara terus hadir dengan modifikasi dan
kontekstualisasi di setiap zaman. Ketegangan ritual dengan modernitas memberi
ruang persimpangan untuk dilupakan atau terus dirayakan. Di hadapan modernitas,
ritual membutuhkan legitimasi untuk terus diingat dan dikonstruksi.
Sumpah Pallapa memberi keyakinan untuk
memperjuangkan gagasan nusantara sebagai pembuktian. Perang demi perang,
kecerdikan diplomasi dan strategi Gadjah Mada merupakan upacara yang dirangkai
oleh sumpah. Kongres Pemuda 1928 menjadi ruang aktualisasi ide tentang
persatuan namun tak meminggirkan keragaman. Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928
memberi keputusan bagi pemuda untuk menyatukan tanah air, bangsa dan bahasa.
Keyakinan penyatuan ini tak membunuh keragaman, namun justru memberi mozaik
multikultural yang berpadu secara bijak: bhinneka tunggal ika.
Sumpah dan upacara memberi energi etnisitas untuk
tampil sebagai khazanah Indonesia. Etnisitas sering jadi bola liar yang
dimangsa oleh tragedi. Konflik etnis memberi bukti sensitif bahwa keragaman
memicu tragedi. Namun keragaman etnis menyemai upacara dalam jantung aktifitas manusia.
Pesona Indonesia hadir oleh perayaan momentum agung di setiap etnis. Penggalian
keragaman upacara yang diselenggarakan di tiap titik etnis memberi gambaran
eksotisme tradisi negeri ini.
Upacara untuk Indonesia
Upacara turut mencatatkan diri dalam historiografi
Indonesia modern. Upacara dan sumpah hadir untuk membaptis pemimpin di berbagai
jenjang stuktural. Sumpah mengawali masa bakti presiden sampai kepala desa.
Sumpah formal memingirkan sumpah substansial. Upacara yang mengelilingi sumpah formal menjadi gemerlap dengan suntikan
dana tak sedikit.
Padahal, sumpah yang jadi penanda kemerdekaan
Indonesia dirayakan dengan sederhana dan persiapan mendesak. Proklamasi pada 17
Agustus 1945 didengungkan oleh Soekarno-Hatta yang mewakili rakyat Indonesia,
di sebuah bangunan sederhana Jalan Pegangsaan Timur, nomor 56, Jakarta.
Cindy Adams dalam Bung Karno: Penyambung Lidah
Rakyat Indonesia, melukiskan kondisi proklamasi dengan upacara yang ritmis
dan asketis, namun tak menenggelamkan makna besar. Lewat karya Cindy Adams
(1966: 328-329), Soekarno mengungkapkan suasana hatinya, ”tidaklah pernyataan
ini dituliskan dengan perkamen emas. Kalimat ini hanya digoreskan pada segaris
kertas. Seseorang memberikan buku catatan bergaris-garis biru seperti yang
dipakai pada buku tulis anak sekolah. Aku menyobeknya selembar dan dengan
tanganku sendiri menuliskan kata-kata proklamasi sepanjang garis-garis biru
itu. Pun kami tidak melakukannya menurut tradisi dengan memakai pena-bulu yang
dicelupkan. Siapakah yang sempat memikirkan soal itu? Kami bahkan tidak
menyimpan pena yang bersejarah yang menggoreskan kata-kata yang akan hidup
untuk selama-lamanya”, ungkap Soekarno.
Bagaimana sumpah dan upacara yang memberi gambaran
Indonesia dewasa ini? Sumpah dan upacara yang membaptis eksekutif, legislatif
dan yudikatif hadir dengan selebrasi gemerlap. Sumpah jadi formalitas yang meminggirkan substansi, dari sakral menjadi
profan. Upacara pembaiatan DPR sering hanya jadi awal pesimis untuk memberi
kontribusi bagi konstituen. Sumpah dihidupkan dengan perayaan, dan setelah itu
dibunuh pelan-pelan. Sumpah dan upacara jadi ironi yang tak mati-mati.
*Munawir Aziz, Esais dan peneliti, lahir di Pati.
Esai ini dimuat di IDE Koran Tempo, 25 Oktober 2009.
Tidak ada komentar: