Negeri Sumpah dan Upacara

00.53
Negeri Sumpah dan Upacara
Oleh : Munawir Aziz*


Sumpah dan upacara berderet menyusun Indonesia. Sumpah jadi bukti bahwa imajinasi dan keyakinan jadi tonggak untuk memulai peristiwa agung dalam catatan sejarah. Sumpah hadir untuk memberi legitimasi keyakinan dan keputusan. Sumpah membuka pintu bagi hadirnya harapan, ia menyemai benih keyakinan bagi diri, rakyat dan pemimpin. Sumpah jadi senjata ampuh untuk membaptis maupun mengadili. Momentum sumpah memberi kontribusi bagi jejak historiografi nusantara maupun Indonesia.
Sakralitas sumpah menggerakkan sayap imajinasi dan keyakinan untuk melakukan agenda besar di luar kemampuan subyektif. Sayap sumpah melampaui zaman dengan menerabas batas kelaziman. Sumpah jadi garansi untuk meneropong peristiwa masa depan. Sumpah memerlukan bukti yang terus ditagih oleh publik, untuk tak menjadi sampah. Sumpah hadir dengan upacara yang penuh dengan tanda. Upacara mengagungkan perayaan simbol-simbol dengan efek legitimasi dan relasi antar elemen. Relasi politik-kuasa hadir di berbagai sumpah dan upacara yang mewarnai historiografi Indonesia. Sumpah memberi lambaran keyakinan, upacara menghadirkan legitimasi dan refleksi.
Sumpah membuka peluang gagasan nusantara untuk mewujud sebagai warisan sejarah kuasa kerajaan. Nusantara lahir dari kerja politik selama lebih dari dua dekade, sebagai konsekuensi Sumpah Pallapa. Gadjah Mada selama tahun Saka 1258-1279, menggerakkan seluruh tenaga, pikiran dan harapan untuk mewujudkan nusantara. Keringat, darah dan nyawa tercecer untuk mewujudkan isi sumpah.

 
Nusantara dalam bayangan Gadjah Mada adalah bentangan kuasa dari Gurun (Lombok), Seran (Seram), Tanjung Pura, Haru (Sumatra Utara), Pahang (Malaya), Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik (Singapura). Nusantara dilambari oleh sumpah yang jadi prasasti keperkasaan Majapahit. Sumpah Gadjah Mada memberi bukti, tak sekedar janji.
Sumpah beriringan dengan upacara untuk menggerakkan ruh dan tubuh. Upacara hadir di tengah-tengah aktifitas manusia dengan landasan kultural dan spiritual. Upacara memberi tanda bahwa manusia butuh ruang untuk melepaskan diri realitas yang penat. Upacara memberi kelonggaran untuk menghirup aroma spiritualitas dan merayakan ekstase. Upacara memberi nyawa bagi Indonesia, sekaligus menggerakkan energi warganya. Manusia Indonesia dilahirkan dan melahirkan upacara. Seluruh prosesi dalam hidup manusia Indonesia memberi ruang untuk khusyu’ menyelenggarakan ritual. Dari lahir sampai mati, manusia Indonesi merayakan berbagai upacara untuk memberi peringatan pada diri dan lingkungan.
Mitos lokal membuka peluang upacara untuk terus dirayakan. Bernard HM Vlekke (2008; 38) dalam Nusantara: Sejarah Indonesia, menuliskan betapa ritus kultural memberi kontribusi dalam penguatan karakter nusantara maupun identitas Indonesia. Jejak kerajaan kuno masih menyisakan tradisi untuk menunaikan upacara sebagai ibadah dan kebutuhan spiritual. ”Dekat Prambanan, ada reruntuhan candi yang dinamakan “Loro Jonggrang”, nama yang diberikan oleh penduduk sekitar bagi patung dewi hindu ”Durga”. Durga, “yang tak terdekati”, adalah salah satu perwujudan dewi, istri Shiwa, yang memiliki kekuatan suprainsani. Para petani Jawa dari daerah sekitar masih sering membawa persembahan pada Durga sampai akhir-akhir ini, ” tulis Vlekke. Denys Lombard menyebut ritus kultural sebagai keunikan nusantara. Sumpah dan upacara menebarkan jejak ritus kultural yang terus dimaknai.
Ritus kultural
Upacara terus hadir dengan modifikasi dan kontekstualisasi di setiap zaman. Ketegangan ritual dengan modernitas memberi ruang persimpangan untuk dilupakan atau terus dirayakan. Di hadapan modernitas, ritual membutuhkan legitimasi untuk terus diingat dan dikonstruksi.

Sumpah Pallapa memberi keyakinan untuk memperjuangkan gagasan nusantara sebagai pembuktian. Perang demi perang, kecerdikan diplomasi dan strategi Gadjah Mada merupakan upacara yang dirangkai oleh sumpah. Kongres Pemuda 1928 menjadi ruang aktualisasi ide tentang persatuan namun tak meminggirkan keragaman. Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 memberi keputusan bagi pemuda untuk menyatukan tanah air, bangsa dan bahasa. Keyakinan penyatuan ini tak membunuh keragaman, namun justru memberi mozaik multikultural yang berpadu secara bijak: bhinneka tunggal ika.
Sumpah dan upacara memberi energi etnisitas untuk tampil sebagai khazanah Indonesia. Etnisitas sering jadi bola liar yang dimangsa oleh tragedi. Konflik etnis memberi bukti sensitif bahwa keragaman memicu tragedi. Namun keragaman etnis menyemai upacara dalam jantung aktifitas manusia. Pesona Indonesia hadir oleh perayaan momentum agung di setiap etnis. Penggalian keragaman upacara yang diselenggarakan di tiap titik etnis memberi gambaran eksotisme tradisi negeri ini.
Upacara untuk Indonesia
Upacara turut mencatatkan diri dalam historiografi Indonesia modern. Upacara dan sumpah hadir untuk membaptis pemimpin di berbagai jenjang stuktural. Sumpah mengawali masa bakti presiden sampai kepala desa. Sumpah formal memingirkan sumpah substansial. Upacara yang mengelilingi sumpah formal menjadi gemerlap dengan suntikan dana tak sedikit.
Padahal, sumpah yang jadi penanda kemerdekaan Indonesia dirayakan dengan sederhana dan persiapan mendesak. Proklamasi pada 17 Agustus 1945 didengungkan oleh Soekarno-Hatta yang mewakili rakyat Indonesia, di sebuah bangunan sederhana Jalan Pegangsaan Timur, nomor 56, Jakarta.
Cindy Adams dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, melukiskan kondisi proklamasi dengan upacara yang ritmis dan asketis, namun tak menenggelamkan makna besar. Lewat karya Cindy Adams (1966: 328-329), Soekarno mengungkapkan suasana hatinya, ”tidaklah pernyataan ini dituliskan dengan perkamen emas. Kalimat ini hanya digoreskan pada segaris kertas. Seseorang memberikan buku catatan bergaris-garis biru seperti yang dipakai pada buku tulis anak sekolah. Aku menyobeknya selembar dan dengan tanganku sendiri menuliskan kata-kata proklamasi sepanjang garis-garis biru itu. Pun kami tidak melakukannya menurut tradisi dengan memakai pena-bulu yang dicelupkan. Siapakah yang sempat memikirkan soal itu? Kami bahkan tidak menyimpan pena yang bersejarah yang menggoreskan kata-kata yang akan hidup untuk selama-lamanya”, ungkap Soekarno.
Bagaimana sumpah dan upacara yang memberi gambaran Indonesia dewasa ini? Sumpah dan upacara yang membaptis eksekutif, legislatif dan yudikatif hadir dengan selebrasi gemerlap. Sumpah jadi formalitas yang meminggirkan substansi, dari sakral menjadi profan. Upacara pembaiatan DPR sering hanya jadi awal pesimis untuk memberi kontribusi bagi konstituen. Sumpah dihidupkan dengan perayaan, dan setelah itu dibunuh pelan-pelan. Sumpah dan upacara jadi ironi yang tak mati-mati.

*Munawir Aziz, Esais dan peneliti, lahir di Pati.
Esai ini dimuat di IDE Koran Tempo, 25 Oktober 2009.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.