2.000 Tahun Perjalanan Hubungan Tiongkok-Indonesia (Prof. Liang Liji )

01.31

Kemitraan Strategis Indonesia-Tiongkok
Oleh : Munawir Aziz*

Judul Buku       : Dari Relasi Upeti ke Mitra Strategis; 2.000 Tahun Perjalanan Hubungan Tiongkok-Indonesia
Penulis              : Prof. Liang Liji
Penerbit            : Penerbit Kompas, Jakarta
Cetakan             : I, Januari 2012  
Tebal                  : xvii + 594 hal.


Dalam sejarah peradaban, hubungan antara Tiongkok dan Nusantara mengalami pasang surut. Catatan sejarah lintas dinasti di Tiongkok menjelaskan bahwa, persinggungan kebudayaan antara Tiongkok dan Nusantara telah berlangsung selama dua ribu tahun lamanya, yakni sejak zaman dinasti Han Timur (25-220). Mengenai relasi kebudayaan dan politik antara Tiongkok dan Nusantara, Prof. Liang Liji melakukan analisis secara mendalam, dengan membongkar beberapa kitab sejarah beberapa kerajaan dalam narasi antar Dinasti di Tiongkok.
Dalam riset historiografis, Prof Liang Liji menggunakan catatan beberapa arsip sejarah antar Dinasti Tiongkok, diantaranya Xuan Zhong Shi Lu (Catatan kejadian Aktual Xuan Zhong) Ming Shi (Sejarah Dinasti Ming), dan Ming Shi Lu (Catatan Kejadian aktual Dinasti Ming). Ming Shi Lu disusun secara kronologis oleh pejabat penulis sejarah bernama Hu Guang beserta timnya, jumlah seluruhnya mencapai 2.965 jilid dengan 16 juta karakter Tionghoa.
Dalam catatan Dinasti Tiongkok, sejak zaman Xia (2140-1711 sebelum Masehi) dan Shang (1722-1066 sebelum Masehi) sudah berlaku sistem penulisan sejarah yang ditugaskan pada pegawai istana yang disebut Shi Guan (pejabat penulis sejarah).
Dinasti Han Timur (25-220) menandai fase hubungan Tiongkok dan Nusantara. Kemudian utusan Tiongkok yang melawat ke Nusantara sejak zaman Samkok (Tiga Kerajaan, 220-280), diantaranya bermana Zhu Ying dan Kang Tai. Pada zaman Dinasti Tang (618-907) mulai berlangsung interaksi budaya yang lebih intensif antara Dinasti Tang dan kerajaan Sriwijaya. Perintisnya adalah pendeta Buddha bernama Yi Jing. Sampai Dinasti Ming (1368-1644), hubungan Tiongkok dan Nusantara mencapai puncaknya dengan tujuh kali lawatan Laksamana Cheng Ho. 

Namun, selepas kejayaan Dinasti Ming, hubungan antara Tiongkok dan Nusantara cenderung menurun. Di satu sisi, kerajaan Tiongkok di bawah rezim Dinasti Qing terus terpuruk pasca Perang Candu 1850, dan selanjutnya menjadi negeri setengah jajahan. Selain itu, kolonialisme telah menjadi babagan baru dalam sejarah peradaban dunia, tak terkecuali di wilayah Nusantara, yang menjadi ajang perebutan antara rezim Spanyol-Portugis, Inggris dan Belanda.
Relasi tributer
Dalam risetnya, Prof Liji menemukan catatan historis bahwa terjadi relasi politik antara beberapa Dinasti Tiongkok dan kerajaan di Nusantara. Liang Liji menyatakan sebagai hubungan tributer, yakni relasi antara negara vasal dan negeri suzerin. Negeri suzerin merupakan negeri pusat, dalam hal ini Tiongkok, dan membawahi beberapa negeri vasal yang berada dalam lingkaran kekuasaan. Negeri vasal wajib memberikan persembahan upeti yang disetorkan langsung, untuk mengakui Tiongkok sebagai penguasa jagad, sedangkan Tiongkok sebagai negeri suzerin memberikan garansi keamanan, pengakuan sebagai negeri dalam lingkaran kekuasaan dan hadiah berlipat ganda berupa emas, uang, dan kain sutra.
Dalam konteks peradaban feodal, ungkap Liang Liji, apa yang disebut hubungan tributer itu hanya bersifat nominal, tidak subtansial. Negara suzerin bukan negara penjajah, karena sama sekali tidak mengganggu kedaulatan dan keutuhan wilayah negara vasal, bahkan sebaliknya, justru menjamin keamanan dan kedaulatan (hal. 7).  Dalam hubungan tributer ini, Tiongkok tak pernah menggunakan agresi militer, kecuali pada masa Dinasti Yuan yang ingin menghukum Kartanegara di daerah Jawa Timur.
Politik diplomasi dan kejayaan armada maritim Tiongkok mencapai puncaknya pada masa dinasti Ming, yang mengutus Laksamana Cheng Ho, untuk melakukan perjalanan selama tujuh kali melintasi Samudra Barat, dan juga singgah di beberapa lokasi di Nusantara, semisal Samudra Pasai, Palembang (Kukang), Cirebon, Semarang (Sam Po Toalang), Tuban dan Gresik.
Mengenai kejayaan Dinasti Ming, Prof Liang Liji menyajikan perbandingan antara Cheng Ho dan Colombus. Pelayaran armada Cheng Ho ke Samudra Barat dimulai pada tahun 1405 dan berakhir pada 1433; banyaknya tujuh kali dan jangka waktu sepanjang 28 tahun; setiap kali pelayaran jumlah kapal yang dikerahkan umumnya 260 buah lebih, kapal yang berukuran besar dan sedang jumlahnya 60 buah lebih; tonase kapalnya kira-kira 1.500 ton dan jumlah penumpangnya kira-kira 27.000 orang, membuka jalur komunikasi dari Tiongkok sampai Afrika Timur, jarak jauhnya sampai 15.000 mil laut.
Sedangkan, pelayaran Colombus dimulai pada tahun 1493 dan berakhir pada 1504; banyaknya empat kali dan jangka waktunya sepanjang 13 tahun; setiap kali pelayaran jumlah kapal yang dikerahkan paling banyak 17 buah dan paling sedikit 3 buah; tonase kapalnya 100-200 ton dan jumlah penumpangnya paling banyak 1.300 sampai 1.500 orang; membuka jalur komunikasi dari Eropa sampai Karibia, jarak jauhnya kira-kira 4.00 mil laut.
Hubungan RRT dan Indonesia
Catatan sejarah hubungan antara Dinasti Tiongkok dan kerajaan Nusantara, memberi dampak positif bagi relasi antara pemerintahan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Indonesia. Prof Liang Liji menyatakan; pada abad 20, hubungan RRT dan Indonesia dapat dibagi menjadi tiga tahap. Pertama, dalam periode 1950-1965. Pada tanggal 13 April 1950 Republik Indonesi dan republik Tiongkok membuka hubungan diplomatik.
Tahap kedua, pada periode 1965-1988. Fase ini merupakan masa gelap dalam relasi Tiongkok Indonesia, disebabkan tragedi 1965 yang menyebabkan luka mendalam bagi masyarakat Indonesia serta etnis Tionghoa. Masa kegelapan ini kemudian menemukan titik terang ketika dilakukan kesepahaman dalam bidang perdagangan antara Kamar Dagang Indonesia dan Dewan Promosi Perdagangan Internasional Tiongkok, pada tahun 1985.
Tahap ketiga, fase pasca Orde Baru. Hubungan antara Indonesia dan Tiongkok semakin erat, sebab memiliki kepentingan bersama dalam perdagangan, politik dan hubugan internasional. Pada 1 Januari 1999, presiden Gus Dur secara resmi berkunjung ke Tiongkok dan diterima oleh ketua Jiang Ze Min di Aula Kongres Rakyat Beijing. Dalam kunjungannya, presiden Gus Dur berusaha meningkatnya kerjasama Indonesia-Tiongkok dalam bidang ekonomi, politik dan kebudayaan. Gus Dur juga menegaskan bahwa di dunia ini hanya ada satu Tiongkok, dan mendukung pendirian RRT dalam masalah Taiwan dan Tibet.
Sebaliknya, Jiang Ze Min menyampaikan dukungan kepada Indonesia dalam membela kesatuan dan kedaulatan negara, dan mengharapkan Indonesia bisa terus memberi sumbangsih dalam lingkaran kerjasam ASEAN (hal. 558-9).
Kemudian, pada tahun 2005, presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Tiongkok Hu Jintao menandatangani Deklarasi Bersama tentang Menjalin Kemitraan Strategis Tiongkok Indonesia. Hubungan antara Tiongkok dan Indonesia telah terjalin selama dua puluh abad, hal ini penting sebagai modal untuk membina kerjasama dalam bidang politik, hukum, ekonomi dan kebudayaan yang lebih kuat, khususnya pada masa globalisasi sekarang ini.
Riset Prof Liang Liji ini merupakan karya ensiklopedis untuk mencatat dan menganalisa hubungan antara Dinasti Tiongkok dan kerajaan Nusantara, yang berlangsung hingga zaman sekarang, antara pemerintah RRT dan Indonesia. Buku ini sangat penting sebagai referensi untuk kajian Tionghoa dan hubungan internasional, meski terdapat kekurangan validitas dan akurasi sumber teks yang berasal dari luar Tiongkok, dan tidak adanya bibliografi, yang menyebabkan buku ini berkurang bobot akademiknya.

Munawir Aziz,
Mahasiswa Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), Jogjakarta.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.