2.000 Tahun Perjalanan Hubungan Tiongkok-Indonesia (Prof. Liang Liji )
Kemitraan Strategis Indonesia-Tiongkok
Oleh :
Munawir Aziz*
Judul Buku
: Dari Relasi Upeti ke Mitra Strategis; 2.000 Tahun
Perjalanan Hubungan Tiongkok-Indonesia
Penulis
: Prof. Liang Liji
Penerbit
: Penerbit
Kompas, Jakarta
Cetakan
: I, Januari 2012
Tebal
: xvii + 594 hal.
Dalam sejarah peradaban, hubungan antara Tiongkok dan
Nusantara mengalami pasang surut. Catatan sejarah lintas dinasti di Tiongkok
menjelaskan bahwa, persinggungan kebudayaan antara Tiongkok dan Nusantara telah
berlangsung selama dua ribu tahun lamanya, yakni sejak zaman dinasti Han Timur
(25-220). Mengenai relasi kebudayaan dan politik antara Tiongkok dan Nusantara,
Prof. Liang Liji melakukan analisis secara mendalam, dengan membongkar beberapa
kitab sejarah beberapa kerajaan dalam narasi antar Dinasti di Tiongkok.
Dalam riset historiografis, Prof Liang Liji menggunakan
catatan beberapa arsip sejarah antar Dinasti Tiongkok, diantaranya Xuan
Zhong Shi Lu (Catatan kejadian Aktual Xuan Zhong) Ming Shi (Sejarah
Dinasti Ming), dan Ming Shi Lu (Catatan Kejadian aktual Dinasti Ming).
Ming Shi Lu disusun secara kronologis oleh pejabat penulis sejarah bernama Hu
Guang beserta timnya, jumlah seluruhnya mencapai 2.965 jilid dengan 16 juta
karakter Tionghoa.
Dalam catatan Dinasti Tiongkok, sejak zaman Xia
(2140-1711 sebelum Masehi) dan Shang (1722-1066 sebelum Masehi) sudah berlaku
sistem penulisan sejarah yang ditugaskan pada pegawai istana yang disebut Shi
Guan (pejabat penulis sejarah).
Dinasti Han Timur (25-220) menandai fase hubungan Tiongkok
dan Nusantara. Kemudian utusan Tiongkok yang melawat ke Nusantara sejak zaman
Samkok (Tiga Kerajaan, 220-280), diantaranya bermana Zhu Ying dan Kang Tai.
Pada zaman Dinasti Tang (618-907) mulai berlangsung interaksi budaya yang lebih
intensif antara Dinasti Tang dan kerajaan Sriwijaya. Perintisnya adalah pendeta
Buddha bernama Yi Jing. Sampai Dinasti Ming (1368-1644), hubungan Tiongkok dan
Nusantara mencapai puncaknya dengan tujuh kali lawatan Laksamana Cheng Ho.
Namun, selepas kejayaan Dinasti Ming, hubungan antara
Tiongkok dan Nusantara cenderung menurun. Di satu sisi, kerajaan Tiongkok di
bawah rezim Dinasti Qing terus terpuruk pasca Perang Candu 1850, dan selanjutnya
menjadi negeri setengah jajahan. Selain itu, kolonialisme telah menjadi babagan
baru dalam sejarah peradaban dunia, tak terkecuali di wilayah Nusantara, yang
menjadi ajang perebutan antara rezim Spanyol-Portugis, Inggris dan Belanda.
Relasi tributer
Dalam risetnya, Prof Liji menemukan catatan historis
bahwa terjadi relasi politik antara beberapa Dinasti Tiongkok dan kerajaan di
Nusantara. Liang Liji menyatakan sebagai hubungan tributer, yakni relasi antara
negara vasal dan negeri suzerin. Negeri suzerin merupakan negeri pusat, dalam
hal ini Tiongkok, dan membawahi beberapa negeri vasal yang berada dalam
lingkaran kekuasaan. Negeri vasal wajib memberikan persembahan upeti yang
disetorkan langsung, untuk mengakui Tiongkok sebagai penguasa jagad, sedangkan Tiongkok
sebagai negeri suzerin memberikan garansi keamanan, pengakuan sebagai negeri
dalam lingkaran kekuasaan dan hadiah berlipat ganda berupa emas, uang, dan kain
sutra.
Dalam konteks peradaban feodal, ungkap Liang Liji, apa
yang disebut hubungan tributer itu hanya bersifat nominal, tidak subtansial.
Negara suzerin bukan negara penjajah, karena sama sekali tidak mengganggu
kedaulatan dan keutuhan wilayah negara vasal, bahkan sebaliknya, justru
menjamin keamanan dan kedaulatan (hal. 7). Dalam hubungan tributer ini,
Tiongkok tak pernah menggunakan agresi militer, kecuali pada masa Dinasti Yuan
yang ingin menghukum Kartanegara di daerah Jawa Timur.
Politik diplomasi dan kejayaan armada maritim Tiongkok
mencapai puncaknya pada masa dinasti Ming, yang mengutus Laksamana Cheng Ho,
untuk melakukan perjalanan selama tujuh kali melintasi Samudra Barat, dan juga
singgah di beberapa lokasi di Nusantara, semisal Samudra Pasai, Palembang
(Kukang), Cirebon, Semarang (Sam Po Toalang), Tuban dan Gresik.
Mengenai kejayaan Dinasti Ming, Prof Liang Liji
menyajikan perbandingan antara Cheng Ho dan Colombus. Pelayaran armada Cheng Ho
ke Samudra Barat dimulai pada tahun 1405 dan berakhir pada 1433; banyaknya
tujuh kali dan jangka waktu sepanjang 28 tahun; setiap kali pelayaran jumlah
kapal yang dikerahkan umumnya 260 buah lebih, kapal yang berukuran besar dan
sedang jumlahnya 60 buah lebih; tonase kapalnya kira-kira 1.500 ton dan jumlah
penumpangnya kira-kira 27.000 orang, membuka jalur komunikasi dari Tiongkok
sampai Afrika Timur, jarak jauhnya sampai 15.000 mil laut.
Sedangkan, pelayaran Colombus dimulai pada tahun 1493 dan
berakhir pada 1504; banyaknya empat kali dan jangka waktunya sepanjang 13
tahun; setiap kali pelayaran jumlah kapal yang dikerahkan paling banyak 17 buah
dan paling sedikit 3 buah; tonase kapalnya 100-200 ton dan jumlah penumpangnya
paling banyak 1.300 sampai 1.500 orang; membuka jalur komunikasi dari Eropa
sampai Karibia, jarak jauhnya kira-kira 4.00 mil laut.
Hubungan RRT dan Indonesia
Catatan sejarah hubungan antara Dinasti Tiongkok dan
kerajaan Nusantara, memberi dampak positif bagi relasi antara pemerintahan
Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Indonesia. Prof Liang Liji menyatakan; pada
abad 20, hubungan RRT dan Indonesia dapat dibagi menjadi tiga tahap. Pertama,
dalam periode 1950-1965. Pada tanggal 13 April 1950 Republik Indonesi dan
republik Tiongkok membuka hubungan diplomatik.
Tahap kedua, pada periode
1965-1988. Fase ini merupakan masa gelap dalam relasi Tiongkok Indonesia,
disebabkan tragedi 1965 yang menyebabkan luka mendalam bagi masyarakat
Indonesia serta etnis Tionghoa. Masa kegelapan ini kemudian menemukan titik
terang ketika dilakukan kesepahaman dalam bidang perdagangan antara Kamar
Dagang Indonesia dan Dewan Promosi Perdagangan Internasional Tiongkok, pada
tahun 1985.
Tahap ketiga, fase pasca Orde
Baru. Hubungan antara Indonesia dan Tiongkok semakin erat, sebab memiliki
kepentingan bersama dalam perdagangan, politik dan hubugan internasional. Pada
1 Januari 1999, presiden Gus Dur secara resmi berkunjung ke Tiongkok dan
diterima oleh ketua Jiang Ze Min di Aula Kongres Rakyat Beijing. Dalam
kunjungannya, presiden Gus Dur berusaha meningkatnya kerjasama
Indonesia-Tiongkok dalam bidang ekonomi, politik dan kebudayaan. Gus Dur juga
menegaskan bahwa di dunia ini hanya ada satu Tiongkok, dan mendukung pendirian
RRT dalam masalah Taiwan dan Tibet.
Sebaliknya, Jiang Ze Min menyampaikan dukungan kepada
Indonesia dalam membela kesatuan dan kedaulatan negara, dan mengharapkan
Indonesia bisa terus memberi sumbangsih dalam lingkaran kerjasam ASEAN (hal.
558-9).
Kemudian, pada tahun 2005, presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dan Presiden Tiongkok Hu Jintao menandatangani Deklarasi Bersama
tentang Menjalin Kemitraan Strategis Tiongkok Indonesia. Hubungan antara
Tiongkok dan Indonesia telah terjalin selama dua puluh abad, hal ini penting
sebagai modal untuk membina kerjasama dalam bidang politik, hukum, ekonomi dan
kebudayaan yang lebih kuat, khususnya pada masa globalisasi sekarang ini.
Riset Prof Liang Liji ini merupakan karya ensiklopedis
untuk mencatat dan menganalisa hubungan antara Dinasti Tiongkok dan kerajaan
Nusantara, yang berlangsung hingga zaman sekarang, antara pemerintah RRT dan
Indonesia. Buku ini sangat penting sebagai referensi untuk kajian Tionghoa dan
hubungan internasional, meski terdapat kekurangan validitas dan akurasi sumber
teks yang berasal dari luar Tiongkok, dan tidak adanya bibliografi, yang
menyebabkan buku ini berkurang bobot akademiknya.
Munawir Aziz,
Mahasiswa
Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada (UGM), Jogjakarta.
Tidak ada komentar: