Gus Dur Bapak Tionghoa Indonesia
Kiprah
Gus Dur Membela Tionghoa
Oleh: Munawir Aziz*
Judul Buku : Bapak Tionghoa Indonesia
Penulis : MN Ibad dan Akhmad Fikri AF
Penerbit : LKIS, Yogyakarta
Cetakan : I, 2012
Tebal : x + 170 hal.
Judul Buku : Bapak Tionghoa Indonesia
Penulis : MN Ibad dan Akhmad Fikri AF
Penerbit : LKIS, Yogyakarta
Cetakan : I, 2012
Tebal : x + 170 hal.
Sudah lebih dari dua tahun KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) wafat, namun karya-karya yang membahasnya masih terus bermunculan. Gus Dur—dalam bahasa Ulil Abshar Abdalla—merupakan “teks yang seksi”. Kiprah dan kebijakan Gus Dur semasa hidupnya banyak memberi inspirasi bagi warga lintas etnis, agama dan golongan.
Dari sudut pandang itulah, buku “Bapak Tionghoa
Indonesia” ini ditulis. Buku anggitan MN Ibad dan Akhmad Fikri AF ini secara spesifik
menelaah pikiran dan kebijakan Gus Dur dalam relasinya dengan etnis Tionghoa.
Kiprah
Gus Dur sangat dirasakan oleh warga Tionghoa di Indonesia. Ketika menjabat
sebagai presiden, Gus Dur mengeluarkan PP. No 6 tahun 2000 yang mencabut Inpres
no. 14 tahun 1967. Kebijakan Gus Dur membuka kran kebebasan budaya dan agama
bagi masyarakat Tionghoa Indonesia, yang sebelumnya terkekang oleh represi
penguasa Orde Baru. Peran Gus Dur ini mengembalikan eksistensi warga Tionghoa
di Indonesia. Tradisi, kepercayaan, dan pandangan hidup warga Tionghoa di
Indonesia kembali terangkat. Kebijakan Gus Dur ini menjadi bagian dari politik
identitas, untuk mencipta harmoni keindonesiaan.
Bapak
Tionghoa
Atas
sumbangsih Gus Dur, pada 10 Maret 2004, kelompok keturunan Tionghoa di
Semarang, klenteng Tay Kek Sie mengangkat dan menahbiskan mantan presiden RI
tersebut sebagai “Bapak Tionghoa Indonesia”. Secara garis besar, alasan
penobatan Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa Indonesia, dapat diteropong dari empat
sudut pandang; perjuangan Gus Dur dari sisi kewarganegaraan kelompok keturunan
Tionghoa, keteladanan Gus Dur dalam memperlakukan kelompok keturunan Tionghoa,
serta sisi pelengkap yang masih berupa kontroversi, yaitu pengakuan Gus Dur
sebagai keturunan Tionghoa, dari marga Tan (hal. 123).
Penahbisan
Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa memang menjadi perdebatan, ada yang mendukung,
namun juga ada yang mencibir bahwa Gus Dur hanya mencari popularitas. Apalagi,
jejaring komunitas dan ekonomi Tionghoa menjadi sangat penting di Indonesia, khususnya
sebagai pendukung politik. Pendapat yang terakhir ini dapat dipatahkan, sebab
pada kenyataannya, Gus Dur tak hanya memihak pada kelompok Tionghoa semata.
Namun, secara luas berpihak pada kaum lemah (mustadh’afin) dan pihak-pihak yang
selama ini mengalami perlakuan marginal, lintas budaya dan agama.
Jika
ditelusuri lebih detail, Gus Dur sebenarnya mendasarkan keyakinan perjuangan
untuk membantu warga yang lemah dan margnial, bersumber pada keyakinan
teologis.
Gus Dur berpijak pada pandangan universal tentang
kedamaian dan humanisme universal.
Humanisme universal
Humanisme universal
Pandangan Gus Dur dalam mendasari nilai universalismenya,
yang membuat berbeda dengan para pemikir dan pemimpin umat Islam kebanyakan
adalah dalam memahami ayat, “udkhuluha fi as-silmi kaffah” (QS al-Baqarah
[2:208]). Berbeda dengan tokoh lain yang menganggap as-silmi sebagai “Islam”,
Gus Dur dalam hal ini memandang as-silmi kaffah sebagai kedamaian secara penuh,
yang membawa pada keberadaan universal dan tidak perlu diterjemahkan pada sistem-sistem
tertentu, termasuk kepada Islam. Karena
ayat tersebut mengajak kepada kedamaian umat manusia (hal. 94-5).
Lebih
lanjut, Gus Dur (dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita, 2006: 4) dalam
memandang keislaman lebih menekankan pada prinsip-prinsip dasar untuk menjadi
‘muslim yang baik’. Sebagaimana diajarkan dalam ayat-ayat al-Qur’an bahwa ada
lima syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi muslim yang baik: yaitu menerima
prinsip-prinsip keimanan, menjalankan ajaran (rukun) Islam secara utuh,
menolong mereka yang memerlukan pertolongan (sanak saudara, anak yatim, kaum
miskin), menegakkan profesionalisme, dan bersikap sabar ketika menghadapi
cobaan dan kesusahan.
Dari
perspektif inilah, keberpihakan Gus Dur pada warga Tionghoa dapat dicari raison
d’etre-nya.
Buku “Bapak Tionghoa Indonesia” ini penting sebagai referensi yang mengulas relasi Gus Dur dengan warga Tionghoa, bahkan secara luas membuka kajian tentang relasi pesantren dan Islam dengan etnis Tionghoa. Namun, ada beberapa kesalahan kecil, yang menandaskan buku ini terbit tergesa, semisal salah ketik di beberapa halaman (semisal hal. 111, 117), tak menyebutkan sumber, dan mengulang keterangan (hal. 120). Namun, beberapa kesalahan itu tak mengurangi bobot buku ini. Buku ini menjadi referensi penting lintas pembaca.
Buku “Bapak Tionghoa Indonesia” ini penting sebagai referensi yang mengulas relasi Gus Dur dengan warga Tionghoa, bahkan secara luas membuka kajian tentang relasi pesantren dan Islam dengan etnis Tionghoa. Namun, ada beberapa kesalahan kecil, yang menandaskan buku ini terbit tergesa, semisal salah ketik di beberapa halaman (semisal hal. 111, 117), tak menyebutkan sumber, dan mengulang keterangan (hal. 120). Namun, beberapa kesalahan itu tak mengurangi bobot buku ini. Buku ini menjadi referensi penting lintas pembaca.
Munawir Aziz,
Mahasiswa Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS), Sekolah
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), Jogjakarta.
santri di pesantren Krapyak, Yogyakarta.
santri di pesantren Krapyak, Yogyakarta.
Tidak ada komentar: